Ashani tiba di apartemen Gema pukul sebelas. Ia melewati kamar Erwin yang sebelumnya pernah ia kunjungi, dan sejujurnya masih jengkel dengan pria tua yang satu itu. Tapi bayarannya tidak akan penuh sampai ia menyelesaikan perkara akta waris ini. Selain itu, memang sudah kewajibannya. Ashani memberikan tiga ketukan di pintu apartemen Gema, lalu pintu dibuka.
Gema menjabat tangan Ashani sambil memperkenalkan diri, lalu mempersilakan Ashani masuk. Ashani mengenakan setelan blazer warna biru gelap dan blus putih polos. Profesional, cerdas, tepat waktu. Tipikal seorang pengacara. Gema, tahu akan datang tamu, mengenakan celana bahan panjang dan sweater hoodie warna biru terang.
Ashani duduk di kursi makan sementara Gema pamit ke kamar. Ia keluar membawakan kotak berisi surat-surat Bung Erwin yang sudah diikat kembali, disusun dan ditempatkan seperti semula. Lengkap, kecuali empat surat yang justru spesifik dicari oleh Ashani. Gema menjelaskan situasi bagaimana ia bisa mendapatkan surat-surat tersebut.
“Jadi, di dalam kotak ada surat pertama sampai surat ke-120...dan di luar kotak hanya ada surat ke-125?” Ashani memastikan cerita Gema sesuai dengan apa yang nalarnya tangkap.
“Betul. Ditambah lagi, kalau kotak dibuka, beberapa kumpulan surat memang diikat jadi satu. Kemungkinan besar empat surat yang hilang itu memang dijadikan satu dan dipisah dari surat lainnya.”
“Lalu? Anda baca surat-surat itu meskipun suratnya privat?”
“Ya. Saya tahu suratnya privat, tapi surat itu tidak ditutup. Saya awalnya hanya memeriksa surat ke-125. Tidak ada alamat tujuan, hanya ada tanggal dan nomor surat. Ketika saya periksa surat-surat lain pun, memang begitu. Saya coba buka surat pertama dan ternyata Bung Erwin menulis surat-surat ini sebagai ritual tersendiri...seperti kebiasaan menulis jurnal.“
Ashani memutuskan untuk mengabaikan sapaan Bung terhadap kliennya. Bukan sesuatu yang penting, meskipun agak aneh. “Anda tidak tahu kalau surat-surat ini berhubungan dengan akta waris?”
“Tidak. Dan kalau aku tidak menyelamatkan surat-surat ini, mungkin sudah jadi bungkus gorengan.”
Ashani tersenyum kecil lalu berdeham. “Apa Anda mengubah sesuatu di dalam surat-surat ini?”
“Tidak. Saya hanya sekadar membaca karena penasaran dan...menenangkan.”
Ashani berusaha menyembunyikan keheranannya. “Baiklah. Di akta waris, surat-surat yang sebenarnya disebut dan krusial adalah empat surat yang hilang tadi: ke-121 sampai ke-124. Surat-surat lain tidak disebut, jadi Anda secara teknis tidak melanggar apapun.”
Gema agak bernafas lega. Untung saja empat surat itu tidak ada, karena Gema pasti akan membacanya juga sampai tuntas. Tapi di mana surat-surat itu dan apa isinya?
“Saya akan hubungi Bu Septri dan coba meminta akses ke kamar Pak Erwin. Siapa orang yang membantu membereskan barang-barang Pak Erwin?”
“Bung Suman.”
“Baik, saya akan minta beliau datang sekalian.”
Bang Suman dipanggil. Bu Septri juga ikut turun tangan ketika Ashani, Gema, dan Bang Suman masuk ke dalam apartemen Bung Erwin. Kamar apartemen Bung Erwin lebih besar dari milik Gema.
Pintu terbuka dan mereka disambut oleh koridor yang lebih lega. Rak sepatu dan sebuah gantungan untuk jaket dan payung. Lalu mereka masuk ke ruang makan yang bersatu dengan ruang tengah. Satu meja makan, dua kursi. Di ruang tengah terdapat sofa, televisi, dan kursi baca dekat jendela. Di kanan, ada dapur, lalu kamar mandi. Satu dari dua kamar tidur disulap menjadi ruang kerja.
Bang Suman menjalankan tugasnya dengan baik saat berbenah beberapa waktu lalu karena kamar Bung Erwin tampak rapi meski tidak dihuni. Rak sepatu, gantungan jaket, televisi, sofa, kursi baca, meja makan, tempat tidur, dan furniture lainnya ditutup kain putih. Kain putih yang menutupi kursi baca malah terlihat begitu syahdu karena terpapar cahaya yang masuk dari jendela.
“Pak Suman, bisa coba bantu kira-kira surat-surat yang terpisah itu ada di mana?” pinta Ashani.
Pak Suman dengan sigap berjalan ke arah kamar, dan menyingkap kain putih yang menutupi meja kerja Bung Erwin. “Saya menemukan kotak itu di atas meja. Satu surat di atasnya, tidak ada lagi.”
Ashani inisiatif membuka semua laci meja kerja itu dan mencari surat-surat yang mungkin lupa dikirimkan oleh Erwin. Bu Septri menepuk pundakku dan mengajak Gema mencari surat-surat itu di ruang tengah. Akan lebih cepat kalau semua orang mulai mencari. Gema dan Bu Septri menyibak kain-kain putih dari setiap furnitur dan membuka setiap laci. Bang Suman mencari ke kolong meja.
Keempatnya mencari selama satu jam dan berhasil membongkar setiap laci yang ada di setiap ruangan. Bahkan dapur dan kamar mandi, meski kemungkinannya kecil. Tak ada sepucuk surat pun yang berhasil ditemukan. Ashani dan Gema bahkan mulai merambah ke koleksi buku Bung Erwin yang cukup ramai, membongkar rak bukunya dan sampai mencari ke sela-sela halaman buku. Nihil.
Bang Suman duduk di kursi makan, memeriksa ponselnya. Gema duduk di kursi baca Bung Erwin, berpikir keras kira-kira di mana Bung Erwin menyembunyikan empat surat terakhir. Ashani bersandar ke dinding, raut wajahnya datar namun kepalanya menengadah. Berpikir tak kalah keras dari Gema. Bu Septri yang tidak memikirkan lokasi surat itu. Ia memikirkan tiga orang yang mencari ini.
Tak ada yang sadar Bu Septri keluar dari kamar Bung Erwin sampai ia kembali membawakan air jeruk. Ia letakkan satu botol besar air jeruk dan empat gelas kaca di atas meja makan, dan mulai menuang. Gelas pertama diberikannya pada Bang Suman.