Di surat ke-121, terdapat inisial Z di pojok kanan atas amplop. Ashani tidak tahu menahu apa artinya, tapi Gema tahu. Gema sudah membaca 120 surat lainnya.
Ashani datang lagi dengan Gema di apartemennya, kini berdua duduk berhadap-hadapan di meja makan Gema. Ashani meletakkan tasnya di atas meja dan menggantung blazernya di kursi, seakan-akan dia dan Gema akan adu panco. Ia duduk dengan wajah serius.
Surat sudah ditemukan. Sekarang tinggal perkara menentukan pada siapa surat-surat itu ditujukan. Ashani membaca beberapa surat tulisan Erwin yang disodorkan Gema padanya.
Gema sejak semalam sudah menyiapkan tumpukan surat yang bisa menjadi dasar argumen. Z mengacu pada Zaikal, tidak bisa dibantah lagi. Perkara siapa sosok Zaikal sebenarnya Gema serahkan sepenuhnya pada Ashani yang tentu lebih berpengalaman soal mencari penerima waris.
“Yakin dia orangnya?” Ashani memastikan.
“Iya. Di beberapa surat namanya disebut, Zaikal selalu diasosiasikan dengan bisnis restoran Bung Erwin. Tidak pernah dibahas apa nama bisnisnya, atau nama restorannya, atau apa peran Bung Erwin. Tapi tampaknya mereka berdua memiliki bisnis restoran itu bersama. Z ini pasti Zaikal. Teman dekatnya.”
Ashani menimbang-nimbang. Gema melanjutkan, “Mbak Ashani pegang akta warisannya, ‘kan? Apa tidak tertera namanya di situ?”
“Nah. Itu dia. Yang tertera di akta warisan mendiang Pak Erwin hanya objek waris dan bahwa penerima waris dari objek tersebut adalah penerima surat ke-121.”
“Kalau begitu, bisa kita periksa silang?” usul Gema serius. “Berhubung kita tidak bisa buka surat ini, mungkin bisa kita bisa periksa apakah objek yang diwariskan sesuai dengan si calon penerima.”
Alis Ashani bersilat, naik membusur seketika mendengar usul Gema. “Sesuai bagaimana?”
“Sejauh ini kita tahu kalau Bung Erwin itu eksentrik dan menggunakan banyak upaya dalam proses memberikan warisan ini. Kalau objek yang diwariskan masuk akal untuk diwariskan pada calon penerima waris - maksudnya di sini adalah ada motivasi yang jelas mengapa objek tersebut diwariskan pada suatu individu tertentu, maka memang betul objeknya diwariskan pada orang tersebut.”
Ashani menengadah. Ia ingat apa objek waris untuk si penerima surat ke-121. Melihat nama Zaikal, awalnya ia tidak menyangka. Tapi memang begitu adanya. Ia sampai merinding memikirkan objek waris itu. Pantas saja Erwin punya uang banyak.
“Baiklah. Itu surat ke-121.” Ashani keluar dari renungannya. Fokus. “Bagaimana dengan tiga surat lain?”
Surat ke-122 serupa dengan surat ke-121, hanya berbeda inisial yang tertulis di pojok kanan atasnya. Di surat ke-122, inisial yang tertulis adalah huruf C. Ini juga mudah bagi Gema.
“Jelas, Cynara.”
“Siapa itu?”
“Mantan istri Bung Erwin. Menikah selama 14 tahun dari 1993 sampai 2007.”
“Ada di surat?”
“Yep.”
Ashani menggelengkan kepala. “Kalau tidak ada Mas Gema saya mungkin baru bisa menyelesaikan ini bulan depan. Saya mana ada waktu membaca surat sebanyak itu.”
“Saya kebetulan kemarin sedang banyak waktu luang,” Gema berdalih, “Lagipula, surat-suratnya cukup menarik untuk dibaca.”
“Oh ya?”
Gema mengangguk. “Saya tidak kenal secara pribadi dengan Bung Erwin, hanya tetangga biasa yang berpapasan saja jarang. Tapi setelah saya baca surat-suratnya...saya jadi tahu lebih banyak tentang siapa Bung Erwin. Saya juga belajar banyak dari surat-surat itu.”
“Belajar banyak?”
“Iya. Seperti membaca novel yang bukan hanya berdasarkan kisah nyata, tapi memang kisah nyata. Orangnya benar-benar ada, pernah bertemu pula. Ditambah lagi, banyak momen-momen di hidupnya yang mirip dengan momen di hidup saya.”
“Jadi seperti membaca otobiografi?” Ashani mencari perbandingan serupa.
“Tidak juga,” Gema menyangkal, “Ini lebih jujur.”
Dahi Ashani bereaksi pada pilihan kata Gema, jelas terlihat meminta penjelasan lebih lanjut.
“Isinya surat. Orang tidak menulis surat tanpa ada dorongan emosional, berbeda dengan jurnal yang lebih fokus ke mendokumentasikan, beda pula dengan otobiografi yang sudah terstruktur dan riuh dengan upaya glorifikasi. Ini lebih mentah, berantakan, tidak terencana…”
“Berantakan, mentah, tidak terencana...berarti jujur?”
“Tidak ada yang dibuat-buat, paling tidak. Lucu, juga sebenarnya.”
“Apanya yang lucu?”
“Surat-surat ini sejak awal seharusnya diisi kebohongan. Lucu, ‘kan, surat-surat berisi kebohongan justru malah terasa begitu jujur.”
“Itu namanya pengakuan.”
“Iya, kepada diri sendiri.”
Ashani coba meresapi apa yang dimaksud oleh Gema. Di kepalanya yang selalu berpikir logis, tetap saja Erwin sebenarnya tidak perlu eksentrik seperti ini. Pakai kode segala, sangat tidak perlu. Meskipun kalau dipikir, tidak semua orang bisa rajin menulis seperti dirinya dan punya determinasi untuk menyimpan surat-surat itu.
Tidak mungkin sejak awal dia merencanakan ini, ‘kan? Tidak mungkin sejak pertama ia menulis surat, dia sudah merencanakan bahwa ia akan menulis banyak surat dan semuanya akan jadi seperti ini?
Ashani memutuskan kalau ia suka konsep bahwa berantakan dan tanpa rencana mengandung kejujuran. Mungkin itu alasan Erwin melakukan ini semua. Mungkin ini adalah upaya terakhirnya untuk jujur.
“Hm, mungkin setelah ini semua beres, saya juga mau tahu apa isi surat-surat itu,” Ashani tersenyum, “Tapi, sekarang kita harus selesaikan semuanya dulu.
Surat ke-123 cukup membingungkan. Gema sendiri tidak bisa menentukan secara pasti.
“Memangnya dugaanmu surat ini ditujukan pada siapa?” Ashani memancing Gema.
Gema berdeham. “Di surat, ada satu teman perempuan Bung Erwin bernama Sylvi. Signifikansi Sylvi bisa dibilang tidak ada dalam kasus ini. Dugaanku, surat ini ditujukan pada Bu Septri atau Bang Suman.”
“Kenapa begitu?”