Letters of a Liar

Yoga Arif Rahmansyah
Chapter #16

#122

Mobil Ashani melaju cepat menjauhi pusat kota Bumi Majapraha ke daerah pinggiran kota. Udara pukul setengah sembilan pagi semakin nikmat dihirup berkat hujan deras dini hari tadi. Seperti anomali, hujan dini hari di bulan Juli. Ashani membuka kaca mobilnya. Di sampingnya, Gema pun melakukan hal yang sama: menikmati udara pagi pinggiran kota yang langka di daerah apartemennya.

Gema bersikeras untuk ikut. Ashani awalnya tidak setuju, bukan karena ia tidak ingin Gema ikut tapi karena ia tidak ingin menjemput Gema dulu. Namun mengingat Gema cukup membantu dan ia menawarkan diri untuk menyetir, Ashani setuju.

Mereka berangkat menuju kediaman Cynara, rumah tempat mendiang Erwin dan Cynara tinggal sebelum mereka bercerai. Lokasinya cukup jauh dari pusat kota. Zaikal yang memberikan alamatnya. Ia yakin betul Cynara masih tinggal di sana.

Musik RnB lo-fi semakin terdengar ketika Gema dan Ashani tidak banyak bicara. Gema menikmati menyetir dengan suasana seperti ini. Ia jarang menyetir karena ia jarang bepergian keluar daerah kota dan terutama karena ia tidak punya mobil. Di pikirannya, kalau ia punya mobil, mungkin ia akan sering ke luar ke pinggiran kota bersama Bonita. Atau Rere.

Ashani yang sedari tadi diam saja menikmati pemandangan pepohonan di luar jendela mobil tetiba melempar pertanyaan. “Kenapa dia tidak marah?”

Ibu jari Gema mengecilkan suara musik lewat tombol di setir. “Siapa?”

“Zaikal.”

“Marah karena…” Gema berupaya untuk memahami perspektif Ashani.

“Erwin berbohong dan meninggalkan dia sendiri, ‘kan? Lepas tangan begitu saja. Karena bosan, pula. Bukankah seharusnya ia tersinggung?”

Gema memilah-milah reaksinya. “Mungkin karena kejadiannya sudah lama dan Bung Erwin juga tidak ada? Lagipula akhirnya ia mewarisi buku resep dari Bung Erwin?”

“Tapi, bukan itu ‘kan, intinya?” pertanyaan Ashani yang satu itu terdengar retoris. Menghambur masuk ke dalam pernapasan Gema dan dihirupnya langsung ke otak. Gema diam, memilah-milah pertanyaan itu dengan hati-hati di kepalanya sementara Ashani mulai menguraikan pertanyaan itu.

“Kukira intinya adalah kau tidak meninggalkan rekanmu. Demi apapun. Apalagi sudah selama itu?” lanjut Ashani. “Dengan Cynara ini, Erwin menikah selama empat belas tahun, ‘kan? Kandas begitu saja. Dengan istri sebelumnya, setengah dekade saja tidak. Sementara ia membangun Serumpun bersama Zaikal lebih dari tiga dekade dan mundur karena...bosan?”

“Kedengarannya masalahmu lebih ke bagian Bung Erwin mengundurkan diri, bukan ke bagian Zaikal seharusnya marah?” gumam Gema.

“Iya, itu juga, tapi aku yakin masalah itu sudah beres apapun alasannya. Sudah lama berlalu juga. Maksudku ketika Zaikal akhirnya tahu alasan sebenarnya, kenapa ia tidak marah?”

“Mungkin karena sudah lama?”

Ashani melempar pandangannya keluar jendela mobil, ke pohon-pohon yang mereka lalui dan rumah-rumah yang jaraknya satu sama lain semakin berjauhan. “Mungkin. Maksudku, itu sering terjadi ‘kan? Kita jadi lebih mudah memaafkan ketika masalahnya sudah lama berlalu, karena kita sudah memproses kekecewaan itu. Kita sudah menerima. Ketika situasinya seperti Zaikal ini, dia sudah menerima dan situasinya sudah berlalu dengan hasil yang baik, ia tidak marah. Ia menerima, meskipun Erwin ternyata meninggalkannya dengan alasan yang berbeda dari apa yang ia bilang.”

“Apa berarti tidak masalah apapun alasannya, yang penting bagaimana kita menerimanya?”

Gema mengangkat bahu. “Kurasa itu jawaban versi ideal. Kalau sudah menerima, semua baik-baik saja. Kita baru bisa sepenuhnya melangkah maju kalau menerima apa yang terjadi. Tapi semua kembali lagi ke situasinya, ‘kan? Mungkin jauh lebih mudah bagi Zaikal untuk menerima alasan Erwin yang sebenarnya karena situasinya berakhir baik baginya.”

“Kalau Serumpun benar-benar jatuh waktu itu...kalau Serumpun gagal diselamatkan, mungkin akan lebih sulit bagi Zaikal untuk menerima.”

“Jadi, tidak masalah apapun alasannya? Tidak masalah kebohongan apa yang dipakai Erwin?”

Gema mengangguk. “Kurasa begitu?”

“Kalau tidak masalah kebohongannya, kenapa dia membuat upaya serumit ini, dengan surat-surat berinisial ini? Kenapa mesti repot berkata jujur?”

*

Gema menepikan mobil ke bahu jalan komplek, tepat di seberang rumah yang dimaksud. Sebuah rumah dua lantai di daerah pemukiman menengah ke atas Sendawarsa, dengan cat putih dan abu, atap datar dan pagar besi setinggi satu setengah meter. Dari seberang, rumah itu patut dilukis, tapi bukan karena arsitektur minimalis yang terlihat maksimal. Bukan karena tampak mewah padahal sederhana.

Lihat selengkapnya