Gema dan Ashani memutuskan untuk makan siang di area Sendawarsa sebelum kembali ke kota untuk mengurus surat selanjutnya. Setelah memesan, keduanya duduk berseberangan di meja dekat jendela. Ashani yang akhirnya bicara.
“Kamu tidak apa-apa?”
“Maksudnya?”
“Surat tadi. Kamu belum baca surat yang tadi ‘kan? Surat ke-122?”
Gema tersenyum kecil. “Belum.”
“Kenapa kamu tidak minta pada Mbak Cynara tadi kalau ingin membaca surat itu?”
Gema berdalih. “Kamu sendiri kenapa tidak meminta membaca surat itu? Kemarin waktu dengan Zaikal, kamu yang meminta untuk membaca surat ke-121 ‘kan?”
“Iya, untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman. Untuk kasus Zaikal, aku ingin memastikan kalau memang dia ahli waris yang dimaksud oleh Pak Erwin.”
Gema mencondongkan tubuhnya ke meja. “Lalu, kenapa kamu tidak meminta surat Mbak Cynara juga, dengan alasan yang sama?”
Ashani mencondongkan badannya ke depan, balik bertanya. “Hey, itu pertanyaanku. Kamu jawab. Kenapa kamu diam saja kalau kamu mau baca surat itu tadi dan aku diam saja?”
Gema mundur. “Aku memutuskan aku tidak ingin tahu.”
Ashani mundur juga sampai bersandar di kursinya, tapi lebih karena ia bingung dengan jawaban Gema. “Kenapa begitu?”
Gema menghela nafas. “Aku sudah baca semua surat tulisan Bung Erwin, Mbak. Ketika tadi aku melihat Mbak Cynara terisak sambil mendekap surat itu, aku sadar satu hal.”
“...yaitu?”
“Beliau sama sekali tidak menulis surat selama empat belas tahun pernikahannya dengan Cynara. Setelah cerai pun, tak satupun membahas tentang hubungannya dengan Cynara, bagaimana pernikahan mereka, mengapa berakhir...tak ada satupun. Bahkan Zaikal saja bisa dibilang tidak tahu menahu soal hubungan dua orang itu.”
“Lalu? Memangnya kenapa?”
“Semua itu terbaca olehku sebagai suatu pertanda bahwa Bung Erwin menjaga hubungannya dengan Cynara tetap privat. Cukup dia dan Cynara yang tahu. Sebegitu ia menghargai intimasinya dengan Cynara. Makanya aku tidak meminta surat itu. Empat belas tahun tidak membicarakan sama sekali tentang perempuan yang ia cintai, berarti ia tidak ingin siapapun tahu detailnya selain ia dan Cynara.”
Ashani terdiam. Ia paham. “Aku pun tidak meminta surat itu karena aku merasa itu bukan hal yang tepat untuk dilakukan. Entah mengapa aku juga yakin Mbak Cynara akan menolak memberikan surat itu. Jangankan memberikan suratnya, diberikan warisan saja ia bisa menolak.”
Gema tertawa. “Benar juga, Aku tak habis pikir. Kenapa dia menolak?”
Ashani angkat bahu. “Yang jelas, di akta warisan sudah disiapkan skenarionya. Tampaknya hanya Mbak Cynara yang Pak Erwin prediksi akan menolak. Ia sudah menetapkan bahwa apabila Mbak Cynara menolak, warisannya akan digunakan untuk memastikan Mbak Cynara hidup berkecukupan sampai lima puluh tahun ke depan.”
Lima puluh? Memang sekarang berapa usia Mbak Cynara…
”Bagaimana caranya?” tanya Gema. Ini dia benar-benar tak terpikir bagaimana itu bisa terjadi. Bagaimana seseorang bisa dibiayai tanpa sepengetahuan orang yang bersangkutan.
“Semasa mereka menikah, keduanya punya manajer keuangan yang menangani segala urusan finansial. Di akta waris, ada instruksi jelas untuk memanfaatkan jasa manajer keuangan tersebut.”
Gema mengangguk. Pesanan mereka datang. English breakfast. “Memangnya apa yang diwariskan pada Mbak Cynara?”
“Semua saham Erwin di Serumpun.”
*
Surat ke-123 membuat Gema dan Ashani cukup pusing. Keduanya duduk berhadapan lagi, tapi kali ini di ruang makan apartemen Gema. Tidak ada yang bisa memastikan apakah surat itu ditujukan pada Bu Septri ataukah pada Bang Suman. Atau malah bukan keduanya.
“Kamu benar-benar tidak tahu?” tanya Ashani. Ini masih surat ke-123. Belum mengurus surat ke-124 yang notabene tidak ada inisial, hanya tanda tanya.
“Tidak tahu,” jawab Gema. “Bu Septri itu yang biasa mengurus administrasi dan tagihan yang mesti dibayar oleh Bung Erwin. Ibarat bayi, Bu Septri adalah pengasuh dan Bung Erwin bayinya.”
“Tapi, seperti yang kamu bilang, dia punya kedekatan tersendiri dengan Pak Suman. Teman main catur dan sering makan malam bersama sambil berbincang-bincang.”