Aku terbangun di sebuah ruangan berukuran 3x3 meter persegi dengan tinggi berkisar 5 meter berdinding stainless, dan keramik putih bersih tanpa alas.
Aku mengenakan pakaian berwarna hijau dilengkapi dengan penutup kepalanya. Aku menyadari sesuatu. Aku telah melakukan operasi pada perutku, tepatnya pengangkatan kista dari rahimku. Sebelumnya aku berada di ruang stainless berukuran lebih besar dari yang sekarang, dengan brankar di tengah beserta lampu-lampu kebutuhan operasi. Serta para perawat yang menyambutnya seolah-olah mereka tidak akan melakukan apapun.
Memanggil namaku setelah pintu tertutup,
"Kimberly Bernadette."
Mereka tersenyum, salah satu perawat perempuan cantik menuntunku. Aku tidak terlalu merasa sakit, tapi sejak tadi para pelayan rumah sakit ini selalu memanjakanku. Membawaku dengan kursi roda. Memapahku seakan aku adalah pasien yang tidak bisa berjalan. Dan sekarang bahkan perawat cantik ini, menuntunku menuju brankar dengan membawa sebuah buku catatan yang aku tidak mau tahu tertulis tentang apa. Mereka tersenyum. Menungguku untuk berbaring di sana. Sudah tersedia beberapa peralatan bedah yang tak sedikitpun aku berani menengoknya.
Air mataku kembali menetes. Ini bukan karena sakit, aku tidak menderita sejauh ini. Tapi rasa takutku, jauh membuatku merasakan sakit daripada tumor yang tidak bahkan tidak terlihat besar di bagian perutku.
"Hei, kenapa menangis? Emang kita mau apa coba di sini? Ga ada yang bakal nyakitin kok yah"
Sambut perawat laki-laki yang sedari tadi menunggu kini melangkah menyusul tempatku. Berwajah imut.
Aku tersenyum, mereka mulai sedikit tertawa dengan candaan ala-ala mereka. Sebenarnya sangat lucu, tapi aku masih tersenyum tipis karena tidak fokus terhadap dialog mereka.
Semua alat sudah terpasang di bagian tubuhku, hingga detak jantungku terdengar. Kini semua hening, terdengar mulai serius. Rasa takutku kembali membayang.
"Hayo ngelamun, takut yah? Gapapa, pasang infus dulu yah" kembali celetuk perawat imut yang terlihat selalu ceria.
Aku hanya mengangguk. Mulai menutup mataku karena takut terhadap jarum yang akan menusuk bagian tubuhku, lagi.
Aku merasakan ngilu saat jarum infus mulai masuk ke pergelangan tanganku, sepertinya dia memasukannya terlalu dalam. Aku hanya mengernyitkan dahi dan menahan nafas, demi menahan air mataku supaya tak menetes lagi.
Rupanya perawat imut itu menebak raut wajahku. Setelah memastikan bahwa aku merasa sakit, dia mulai menarik jarumnya. Aku merasakan jarum yang ditarik perlahan. Hingga akhirnya aku kembali bernafas lega.