Pagi, udara sejuk kota polusi masih bisa kuhirup pukul 6 dini hari. Hari pertama aku kembali ke sekolah setelah operasi. Untuk pertama kalinya aku berangkat sepagi ini, tidak terlalu terdengar suara klakson, suara teriakan penjual keliling, atau pengeras suara pertanda pedagang kaki lima yang biasanya memenuhi jalan sekitar sekolah.
Aku berjalan lambat menuju kelasku, aku merasakan hembusan angin meniup rambutku. Aku menatap lurus pemandangan sekolah di depan, sekolah elite yang tidak terkenal. Seketika aku geli membayangkan sekolah ini, bukan tak terkenal karena kualitasnya tapi karena kerahasiaannya. Meskipun terletak di pusat kota, tetapi hal ini tersamarkan oleh segala macam gedung-gedung menjulang tinggi yang bahkan jika memandangnya memang kita tidak akan pernah tahu gedung apa itu? Bukankah begitu? Mereka mengira ini adalah perusahaan asing yang mempekerjakan orang-orang jenius.
Gedung tinggi berkisar 20 lantai, jika dilihat dari luar tidak akan ada yang mengenali ini adalah sebuah sekolah, gedung kaca yang megah berbentuk silinder, bangunan modern. Mengingat ini didirikan 3 tahun lalu, artinya aku adalah siswa kedua dari angkatan siswa yang terdaftar di sini. Benar, belum ada yang lulus dari sekolah yang tidak memiliki standar apapun kecuali adalah dengan visi dan misi yang sangat berbeda dari sekolah lain. Kami bukanlah siswa yang belajar diperuntukkan untuk bekerja. Tetapi, di sini kami telah bertugas. Kami tidak memakai seragam SMA seperti yang lain, kami memiliki seragam khusus dengan atasan putih dan bawahan berwarna Dongker dilengkapi dengan almamater yang berwarna sama dengan bawahan.
"Hai, kenapa tidak menungguku." Peluknya, Leonard Petrov.
Kekasihku, lelaki berwajah Indo-Rusia dengan wajah tegas dan mata yang tajam berwarna hitam, beralis tebal, dan bibir yang tipis, kulit putih pucat seperti vampir. Rambutnya berwarna hitam pekat kontras dengan wajah putihnya yang seperti tak memiliki pigmen darah di sana. Dia pasti telah memarkirkan mobil sport merahnya sembarangan di halaman sekolah. Aku meliriknya, dan benar dia telah berlari dari arah pemarkiran mobil di tengah lapangan. Hanya dia yang dapat akses istimewa seperti itu. Ish!
Dia menahanku, menarik wajahku untuk menghadapnya, membelai pipiku dan menatapku tajam. Aku menatapnya dengan tatapan kosong, namun masih sedikit terfokus melihat matanya. Dia mulai mendekatkan wajahnya, kali ini aku benar-benar fokus dengannya. Terhanyut dalam tatapannya yang menghipnotis, dia mulai menarik tengkukku, dan membelainya lembut, wajahnya mendekat ke arahku. Perlahan kurasakan nafasnya mulai menyerbak hangat ke pipiku.
"Ahhhhh!!!"
Kami tersadar akan teriakan seorang siswi. Seluruh siswa dan siswi berlari menghampiri sumber suara, tak terkecuali aku yang segera berlari meninggalkan Leon dan menuju sumber suara. Leon mengejarku, menggenggam tanganku kemudian kami lari bersama mengikuti langkah seluruh siswa yang kini berbondong-bondong ke satu arah. XI IPA akselerasi, kelasku. Seluruh siswa telah berkumpul di depan pintu dengan kepanikan masing-masing. Beberapa keluar dan terlihat mual. Bau anyir dan busuk telah menyengat sebelum aku melihatnya. Pantas saja jika banyak siswa yang tak kuat dengan bau seperti ini. Beberapa guru meminta kami untuk menjauhi tempat. Bersama dengan terbukanya jalan untuk para guru. Kami mengikuti di belakangnya.
Deg!
Jantungku seperti berhenti berdetak. Bahkan bumi seperti berhenti berotasi. Deja vu, aku pernah melihat ini sebelumnya tapi dimana?
Christiani Nelson atau bisa juga dipanggil Bu Ani atau Madam Nelson. guru matematika berusia 50 tahun. Berbadan cukup berisi, dengan tinggi sekitar 150 cm. Tegas, dan bersuara lantang. Kini terbaring dengan posisi aneh dan menyeramkan.
Tubuhnya membentuk sudut siku-siku, seperti menunjuk pukul 09.00, dengan lingkaran sempurna yang terbuat dari darah yang kini sudah mengering. Dari arah pintu kami tidak dapat melihat wajahnya yang miring ke kanan. Kepala sekolah mengamatinya tepat di depan jenazah Bu Ani. Aku dan Leon berjalan mendekat, mulai melihat wajahnya dan astaga...
Mulutnya terbuka penuh darah kering yang sepertinya mengalir hingga ke kemeja putih yang dibalut blazer hitam. Sepertinya darah itu berasal dari dalam mulut yang kini lidahnya telah terpotong. Dan dalam benakku yakin bahwa matanya yang kini melotot adalah hasil dari reaksi kesakitan yang amat sangat ia rasakan sebelum akhirnya nyawanya melayang. Serta mulutnya yang menganga adalah teriakan terakhirnya sebelum rasa sakit itu akhirnya membuat pertahanan Bu Ani kalah.