Bab 11, Leonardo Petrov. Leyl, The writer. Karya Kimberly L. Bernadette.
Tiga jam yang lalu, aku membaca 11 bab secara seksama, bolak-balik membacanya dan menelaah apa maksudnya. Bahwa aku menemukan buku yang sama persis dengan rentetan peristiwa yang sudah terjadi sejak 09.09.2019 dan ditulis oleh Kimberly (L) Bernadette, namaku. Tapi sudah lama aku tidak menggunakan singkatan L. Di tengah namaku. Lalu bagaimana mungkin?
Pukul 07.00 Am. Aku masih tersedu dalam Isak tangisku. Bulir bening pun jatuh menetes pada sebuah lembar buku yang baru kubaca. Sebuah kisah yang sudah aku lewati, sebuah kisah yang sama persis kujalani. Hingga bab terakhir yang sanggup membuatku terisak kembali adalah mengetahui apa yang dialami Leon semalam, sebelum akhirnya aku melihatnya di ujung cerita. Sebelum akhirnya aku menghentikannya tubuh yang sudah memanas itu untuk saling menyatu, sebelum akhirnya Leon mendapatkan jawaban dari gadis yang kubenci bahwa kemungkinan gadis itu masih mencintainya. Aku tak sanggup lagi membaca buku itu dan segera menutupnya. Meski aku tahu, petunjuk penting ada di sana.
Rasa sakit ini tak kuasa kutahan. Lebih besar daripada rasa penasaranku untuk kembali berfikir teka-teki misteri. Aku meringkuk di kamar Vip no 50 lt. 10, dan sudah ke 9 kali pintu itu diketuk setiap satu jam-nya. Leon, di sana.
Tok tok tok
Sepuluh kali,
"Saya Delyna. Sebagai guru Psikologi. Saya bisa menjadi teman konsultasi untukmu, Kim. Dan bukankah semalam kita sudah sepakat untuk bekerja sama. Kita tim sekarang. Ayolah guys, kita tidak punya banyak waktu. Kuharap kalian semua kooperatif dalam hal ini. Saya harap kalian buang ego masing-masing. Setidaknya sampai masalah ini selesai. Come on!"
Apa? Ego. Tidak bisakah dia lebih tau perasaan seseorang. Justru dia yang egois sekarang. Memaksa kami untuk membantunya menyelesaikan pekerjaan. Hah? Atau kepala sekolah itu yang tidak memiliki otak. Bahkan Leon yang bodoh! Semuanya egois bukan? Semua mementingkan kepentingan pribadi masing-masing.
Suara itu tak kembali bergeming, sudahlah.
Aku meneruskan tubuhku tergeletak di kasur. Menenangkan diriku dengan sisa-sisa tetes air mataku. Sebelum akhirnya...
Tok tok tok
Sebelas,
"Kimberly, aku mohon bukain pintu, sekali saja. Kumohon Kim!"
Rintih Leon dengan suara parau. Sepertinya memang dia tidak tidur dari semalam. Aku menyeka air mataku, menahan dan mencoba menguatkan hatiku. Menguncir rambut sembarang, lalu membuka knok pintu kamarku dan