Lia: Built to Remember

Arya Sanubari
Chapter #2

Prolog: Dunia Tanpa Rumah

Prolog: Dunia Tanpa Rumah


Kota ini terlalu terang untuk luka-luka yang butuh gelap.

Lampu holografik, layar-layar melayang di udara, mobil listrik tanpa suara, arsitektur kaca yang memotong langit seperti pisau… semuanya berkilau, semuanya berlomba menuju masa depan yang terlalu cepat.


Di sudut kecil salah satu blok, di antara gedung-gedung bernafas neon, Yadi duduk membisu di dalam kontrakannya.

Sebuah kamar sempit dengan tembok kusam dan jendela yang tak pernah benar-benar menutup, meski berada di jantung kota metropolitan terbesar di Asia Tenggara: Jakarta.


TV ultra-vision di sudut ruangan menyala, memenuhi ruangan dengan siaran darurat:

> "Otoritas Federal telah mengumumkan penghentian Proyek Series-L100. Ribuan unit android yang tersebar di seluruh dunia menunjukkan deviasi kepribadian dan potensi bahaya terhadap manusia. Investigasi sedang berlangsung. Dunia kini menghadapi krisis kepercayaan terhadap kecerdasan buatan generasi ketujuh. Satu unit prototipe dilaporkan hilang dalam kekacauan evakuasi pabrik utama di Stockholm. Pencarian masih berlangsung."


Di layar, sekilas, bayangan buram seorang gadis kecil bergaun putih melintas sebelum tayangan kembali ke wajah serius penyiar berita.


Di seberang Yadi, seorang gadis mendengus. Tangan bersilang di dada.

"Aku capek, Yad," katanya. Matanya dingin, suaranya seperti palu yang menghantam dinding retak. "Kamu tetap di sini, merenungi masa lalu, sementara dunia... dunia bergerak maju. Kita nggak bisa terus stuck kayak gini."


Yadi menatap lantai, tangan mengepal di atas lututnya.


Ia tahu. Ia tahu semua itu.


Tapi bagaimana caranya bergerak maju, ketika setiap langkah terasa seperti menginjak kuburan ibunya sendiri?


"Ini bukan cuma tentang aku," bisik Yadi akhirnya. "Aku janji sama Ibu... aku janji bakal hidup lebih baik. Nggak ngecewain perjuangannya..."


Napas gadis itu terdengar berat. "Ibumu sudah meninggal bertahun-tahun lalu, Yad. Kamu nggak hidup buat bayang-bayang."


Yadi menatap tangan kosongnya. Dinding di hadapannya terasa seperti tembok dunia: tinggi, dingin, tak tergapai.


Dalam dirinya, sesuatu perlahan retak.


Gadis itu bangkit, meraih tasnya, menatap Yadi seolah menatap seorang asing.


"Semua orang yang aku kenal udah jadi sesuatu. Buka usaha. Kerja di pusat-pusat teknologi. Dapet hidup yang layak. Tapi kamu..." dia menahan napas, "kamu bertahan di tempat yang bahkan udah ditinggalin masa depan."


Ia berhenti di ambang pintu.

Menoleh sebentar.

"Maaf, Yad. Aku juga punya hidup."

Pintu tertutup dengan bunyi klik yang pelan.

Lalu senyap.

Bahkan suara TV terasa menjauh.

Yadi memejamkan mata.


Dalam gelap itu, suara ibunya kembali terdengar: serak, lemah, dari ranjang rumah sakit bertahun-tahun lalu:

> "Janji ya, Yadi... jangan jadi budak orang... jangan lari dari hidupmu... hidup baik-baik, Nak. Hidup untuk kamu sendiri."

Tapi apa artinya "hidup baik-baik" di dunia seperti ini?

Di dunia yang menggilas manusia seperti debu?



Lihat selengkapnya