Bab 1: Malam yang Membawa Pulang
Subuh di Lok Baintan tiba perlahan, seakan dunia masih enggan bangun dari mimpinya.
Embun menetes dari ujung daun pisang, mengalir pelan di sepanjang batang sebelum jatuh membentuk buih kecil di tanah becek.
Kabut tipis bergelayut di atas danau, memantulkan bayang-bayang samar perahu-perahu kayu yang tertambat di dermaga.
Udara basah membelai kulit, membawa aroma lumpur, kayu lembap, dan sisa kehidupan malam.
Di kejauhan, suara adzan Subuh berkumandang, memecah keheningan dengan getar lirih:
Allahu akbar, Allahu akbar...
Yadi, lelaki empat puluhan dengan kumis dan janggut acak-acakan, duduk di tepi dermaga.
Kakinya menjuntai malas di atas air.
Ia menghisap rokok linting buatan sendiri, membiarkan asapnya terbawa angin yang dingin dan sunyi.
Di depannya, danau membentang luas, tenang, tidak menuntut apa-apa.
Motor Astrea tuanya bersandar di dekat rumah kayu kecil peninggalan neneknya… bangunan reyot dengan cat terkelupas, tapi penuh kenangan dan janji-janji lama.
Pagi itu, Yadi ingin tetap di sini.
Seperti biasanya.
Namun takdir berkata lain.
Senter kecil yang biasa ia gunakan untuk berjaga-jaga di malam hari mendadak mati.
Baterai AA-nya sudah sekarat sejak semalam.
“Duh, mampus,” gumam Yadi, menepuk-nepuk senter itu. Percuma.
Tak ada pilihan.
Mau tidak mau, ia harus ke desa, meski subuh masih setengah membuka matanya.
Ia meraih helm usang dan jaket tipis, lalu menyalakan motornya dengan dua tendangan starter.
Mesin tua itu menggeram berat sebelum akhirnya hidup, membelah kabut tipis dengan suara serak.
Jalanan desa masih kosong.
Lampu-lampu rumah panggung menggantung redup, seolah dunia ini hanya dihuni oleh bayangan.
Sawah dan rawa terbentang hitam, diterangi bintang-bintang yang bersinar malu-malu di langit kelabu.
Di antara aroma tanah basah dan semilir wangi daun jati, Yadi melaju perlahan, membiarkan pikirannya kosong, membiarkan dunia mendekapnya dalam diam.
Toko Barang Bekas Angga berdiri di sudut jalan yang nyaris terlupakan, bangunan kayu tua dengan papan nama cat biru yang hampir habis dimakan hujan.
Motor Yadi berdecit pelan saat berhenti.
Ia menurunkan standar, lalu mengetuk pintu kayu.
Tok.
Tak lama kemudian, pintu terbuka, mengeluarkan bau kayu lembap dan logam tua.
Pak Angga berdiri di ambang pintu, tubuh gempalnya dibalut sarung dan jaket usang.
"Assalamualaikum, Pak Angga," sapa Yadi, membungkuk sedikit.
"Waalaikumsalam, Yad. Pagi-pagi buta udah main ke sini. Ada apa?" sahut Pak Angga, suaranya berat tapi hangat.
"Senter mati, Pak. Mau cari baterai."
Pak Angga tertawa kecil, membuka pintu lebih lebar. "Masuk, masuk. Untung belum berangkat ke masjid."
Toko itu tak lebih luas dari ruang tamu kecil, tapi penuh sesak dengan tumpukan barang-barang masa lalu:
Radio tua, televisi kotak, kulkas berkarat, komputer zaman purba seperti reruntuhan zaman yang membeku dalam debu.