Bab 4: "Rasa yang Turun dari Langit"
[DAY 02/XX]
Pagi itu, hujan turun dengan rintik-rintik malas, seperti dunia belum sepenuhnya rela bangun dari tidurnya.
Embun bergulir di ujung daun pisang, bergabung dengan tetes hujan yang membentuk aliran kecil di tanah becek. Udara penuh aroma lumpur dan kayu basah, menyelimuti rumah milik Yadi dalam selimut dingin yang lengket.
Di dapur kecil, Yadi berdiri kikuk.
Tangan kasarnya mencoba mengatur api kecil di tungku kayu, sambil sesekali mencuri pandang ke sudut ruangan di mana Lia, android mungil itu, mengamati dengan mata biru lebarnya.
Lia, dalam gerak kaku seperti bayi yang baru belajar berjalan, perlahan melangkah ke dapur.
Tangannya menyentuh meja tua, lalu panci logam yang bergoyang hampir jatuh. Yadi reflek menangkap panci itu, mendesah panjang, lalu menggaruk jenggotnya sendiri dengan frustrasi kecil.
"Kamu itu... pelan aja, jangan kayak mau berantem sama dunia," gumamnya, setengah kesal, setengah geli.
Lia berkedip, seperti memproses kata-kata itu.
Dengan gerakan sangat hati-hati, ia mencoba lagi. Memegang gagang panci dengan dua tangan, memiringkan sedikit, lalu meletakkannya dengan sukses di atas meja.
Yadi tersenyum tipis.
Ia menghela napas panjang, lalu mengisi panci itu dengan air hujan yang ia tampung di kendi tanah liat.
"Kopi," katanya pendek, sambil menunjukkan segenggam bubuk hitam yang kasar aromanya. "Minuman orang kalah. Pahit, tapi... ya, bikin bangun."
Lia mendekat, memperhatikan setiap gerakan Yadi… bagaimana dia menuang bubuk kopi ke dalam panci, bagaimana dia mengaduk perlahan, bagaimana ia meniup api kecil di tungku seolah berbicara dengan nyala hidup itu.
"Apa... manusia perlu makan untuk hidup?" tanya Lia pelan, suaranya seperti desir angin.
Yadi mengangkat bahu.
"Makan itu... buat bertahan hidup. Tapi rasa... itu buat tahu kita masih hidup."
Lia memiringkan kepalanya, ekspresi heran polos menghiasi wajahnya.
Saat air mulai mendidih, Yadi menuang kopi ke dalam dua cangkir email. Ia menyerahkan satu pada Lia, yang menerimanya dengan hati-hati, seperti memegang sesuatu yang bisa pecah kapan saja.
Lia menatap permukaan kopi itu.