Bab 5: "Matahari di Serambi"
[DAY 03/XX]
Malam telah surut perlahan, seperti gelombang kecil yang meninggalkan buih di pantai waktu.
Kabut menggantung di atas danau Lok Baintan, beringsut pelan di antara rumah-rumah panggung dan ladang yang masih tertidur.
Udara basah merayapi kulit, dingin dan penuh aroma tanah yang baru saja basah semalam.
Yadi membuka matanya perlahan.
Langit-langit kayu menyambutnya dan sunyi.
Ia mengedipkan mata, mendapati sisi charging dock kosong.
Keningnya berkerut.
Tanpa pikir panjang, ia bangkit, langkah beratnya menggoyangkan lantai papan yang berderit perlahan.
Mencari.
Di serambi, di bawah langit yang mulai mengganti kelabunya dengan cahaya samar, ia menemukannya.
Lia duduk bersila.
Tubuh mungilnya membingkai siluet yang diterpa sinar pertama matahari.
Wajah polos itu menatap danau yang perlahan berkilau, seolah mencoba menangkap sesuatu yang hanya bisa dilihat makhluk yang baru mengenal dunia.
Yadi berhenti.
Tangannya yang sempat terangkat untuk memanggil, membeku di udara.
Ia hanya berdiri di ambang pintu, bersandar malas di kusen, membiarkan matanya menikmati pemandangan itu.
"Apa yang dia lihat?"
"Apa dunia ini juga tampak baru baginya... seperti bagiku, bertahun-tahun lalu?"
Angin subuh menyelipkan bau lumpur, kayu basah, dan sedikit asin danau.
Yadi menghela napas, suara berat yang menguap ke udara dingin.
Pelan, ia akhirnya memanggil, suaranya parau tapi lembut:
“Lia.”
Android kecil itu menoleh, membelakangi matahari yang kini menghangatkan garis-garis wajahnya.
Dengan suara yang masih kaku, polos, Lia menjawab:
"Ya... Tuan?"
Yadi menggaruk tengkuknya, seperti mencari kata yang tercecer dalam tidurnya.
"Kamu... semalaman di sini?" tanyanya pendek.
Lia mengangguk perlahan.
"Iya, Tuan. Aku ingin melihat dunia saat ia berubah," gumamnya.
Yadi menyipitkan mata, memperhatikan gadis kecil itu sejenak.
Ada sesuatu yang aneh bukan kesalahan sistem, bukan kegagalan mesin tapi sesuatu yang hanya bisa dirasakan, bukan dianalisa.
"Baterai kamu... aman?" lanjutnya, setengah khawatir.
Lia menunduk sebentar, lalu mengangkat wajahnya.
"Masih dalam batas aman, Tuan. Saya ingin memastikan tidak melewatkan... apa pun."
Yadi mendengus kecil. Bukan mengejek, lebih ke... pasrah.
"Masuk. Kita masak."
Lia berdiri, langkah kaku namun penuh usaha kecil yang menghangatkan pagi itu.
Di dapur, Yadi membuka kulkas berkarat.
Isinya menyedihkan: beberapa telur retak, nasi sisa semalam, dan setoples sambal yang sudah lewat tanggal kadaluarsa.