Lia: Built to Remember

Arya Sanubari
Chapter #8

Bab 6: Suatu Malam yang Tidak Pernah Sepi

Bab 6: "Suatu Malam yang Tidak Pernah Sepi"


[DAY 03/XX]


Malam merayap pelan di atas danau, menghapus garis-garis siang dengan jubah kelam yang lembut.

Kabut tipis menari di atas air, dan langit menaburkan bintang-bintang kecil yang berkedip ragu-ragu, seolah takut membangunkan dunia yang sudah lelah.

Di ujung dermaga, Lia duduk diam.

Kakinya menggantung hampir menyentuh air hitam yang berkilau lirih.

Dari kejauhan, terdengar suara serak mesin tua.

Genset di samping gubuk meraung pendek, batuk, lalu mati lagi.

Yadi berdiri di dekat mesin itu, mengacak-acak rambutnya sendiri dengan frustrasi.

Tangannya kotor dengan oli, wajahnya kusut.

Ia melangkah mendekat, sepatu tuanya menginjak kayu basah dengan bunyi berderit kecil.

Di bawah remang lampu minyak, Yadi berdehem pelan.

"Lia," panggilnya, suaranya berat, setengah menahan kekesalan.

Android kecil itu menoleh pelan dari danau, menatap Yadi dengan mata biru lembut.

Tidak ada keluhan. Tidak ada permintaan.

"Aku mau ke rumah Pak Angga... cari cara buat listrik.

Takutnya kalau genset mati, kamu..."

Yadi menghentikan kalimat itu, menghela napas, menunduk sedikit.

"Pokoknya aku cari solusi. Tapi... mungkin bakal lama. Motor bututku nggak kuat bawa barang banyak. Jadi..."

Lia menatapnya lama.

Lalu untuk pertama kalinya malam itu ia tersenyum kecil.

Senyum yang tipis, sederhana, seperti kelopak bunga yang membuka di bawah embun.

"Iya, Tuan," bisiknya.

"Buatlah waktu Anda sebaik mungkin."

Yadi mematung sebentar.

Senyum itu begitu tenang, begitu menerima terasa lebih berat daripada seribu kata perpisahan.

Akhirnya, ia hanya mengangguk pendek, menggaruk tengkuknya sendiri dengan gerakan kikuk.

"Baiklah. Aku nggak janji bisa cepat pulang," gumamnya.

Lia mengangguk kecil, kembali menatap danau.

Mesin tua meraung pelan di kejauhan.

Suara itu memudar, membawa kepergian Yadi menembus kabut malam, meninggalkan Lia sendirian di bawah langit yang penuh bintang.


Dunia menjadi sunyi.

Hanya suara air yang mendesah pelan di bawah dermaga.

Hanya angin membawa aroma tanah basah.

Lia duduk diam.

Matanya menatap bintang-bintang itu… titik-titik kecil yang bertahan di tengah kehampaan.

Kemudian, tanpa peringatan, ada sesuatu yang bergeser di dalam dirinya.

Sebuah getaran halus.

Glitch kecil di ujung memori.

Seperti pintu tua yang engselnya berderit, membuka ruang yang selama ini terkunci.


Sekejap, dunia berubah.

Bukan Lok Baintan.

Bukan danau hitam dan kabut berat.

Di hadapannya:

Lapangan rumput basah.

Langit musim panas yang cerah.

Aroma pohon pinus dan tanah hangat.

Di seberang pagar kawat tinggi yang berkarat, anak-anak berlarian dengan tawa mereka pecah di udara seperti riak air jernih.

Lihat selengkapnya