Lia: Built to Remember

Arya Sanubari
Chapter #9

Bab 7: Tuan, Apakah Aku Sedang Berharap?

Bab 7: Tuan, Apakah Aku Sedang Berharap?


[DAY 04/XX]


Subuh menetes pelan di atas Lok Baintan. Kabut tipis menggelayut di atas danau, embun merambati batang-batang kayu di serambi. Udara basah, lembut, seolah dunia sendiri baru belajar bangun.


Di dalam rumah, suara mesin kecil berderu samar. Sebuah panel surya bersandar seadanya di sudut rumah, kabel-kabel berserakan di lantai seperti urat-urat yang lupa rapi. Arus listrik mengalir pelan ke docking port di dekat ranjang pandan usang.

Di atasnya, Lia terbaring. Mata birunya tertutup rapat, tubuh mungilnya diam seperti patung kecil yang menunggu.

Di sudut lain, Yadi tertidur di kursi. Tubuhnya jatuh ke samping, napasnya berat dan berantakan. Bekas peluh mengotori lengannya, sisa perjuangan semalam memasang sistem panel surya seadanya yang ia dapat dari Pak Angga.

Kabel-kabel melilit tak beraturan dari inverter rakitan, menancap ke docking station Lia. Solar controller sederhana bergeming dengan lampu hijau yang berdenyut lemah. Semua terasa darurat, tapi cukup. Cukup untuk menjaga Lia.


Kelopak mata Lia bergetar pelan. Sensor internalnya menyala lembut, menyerap energi tipis yang mengalir dari panel surya yang retak itu.

Ia membuka mata perlahan. Dunia menyambutnya dengan aroma kayu lembap, suara napas berat Yadi, dan bayangan kabut di luar jendela.

Lia menggerakkan tubuhnya. Kabel docking terlepas dari belakang telinganya dengan klik kecil. Dengan gerakan hati-hati, ia duduk, matanya menyapu ruangan.

Kabel-kabel semrawut itu membuat rumah mungil itu seperti sarang burung terburu-buru.

Lia mendekat. Tangannya yang kecil mengumpulkan kabel-kabel itu satu per satu. Ia melilitnya, mengikat dengan simpul sederhana, menahan semuanya agar tak lagi berserakan.

Saat selesai, ia menoleh ke arah Yadi. Pria itu masih tertidur, wajahnya terlipat kelelahan. Di dada Yadi, baju lusuhnya bergerak perlahan seiring napas berat yang serak.

Lia menatapnya lama. Ada sesuatu yang hangat berdesir di tempat yang bukan jantung.

Tanpa suara, ia bangkit.

Ia menyapu lantai tanah di halaman dengan sapu lidi. Gerakannya kaku, tidak cekatan. Tanah yang becek malah makin berantakan. Tapi Lia tetap berusaha.

Karena itulah yang manusia lakukan, bukan? Berusaha, bahkan saat dunia tak sempurna.


Matahari perlahan naik, mengusir kabut menjadi kabut tipis di kejauhan.

Yadi menggeliat malas di kursinya. Pundaknya berat, tulang-tulangnya berderit seperti kayu tua. Ia mengucek mata, menggeram kecil.

Lihat selengkapnya