Lia: Built to Remember

Arya Sanubari
Chapter #11

Bab 9: Jejak Kecil di Dunia Ini

Bab 9: “Jejak Kecil di Dunia Ini”


[DAY 06/XX]


Allahu Akbar, Allahu Akbar...

Suara adzan Subuh menetes dari kejauhan, menggema lirih di atas danau berkabut.

Yadi terbangun perlahan, napasnya berat. Ada sesuatu… sesuatu yang lembut membelai rambutnya.

Saat membuka mata, ia menemukan Lia tersenyum pelan, tangan kecilnya menyentuh kepala Yadi dengan kelembutan yang tidak diajarkan oleh pabrik manapun.

"Selamat pagi, Tuan," bisik Lia.

"Kamu terlihat sangat lelah... Maafkan aku."

Dalam sejenak keheningan, mereka hanya saling menatap.

Sampai suara ketukan mengetuk dunia kembali.

Tok. Tok.

Yadi segera bangkit tergesa dari pangkuan Lia.

Tapi sebelum pergi, matanya kembali melirik gadis kecil itu duduk dalam gaya seiza, tenang, hangat seperti matahari pertama di musim hujan.

Lia membalas tatapannya dengan senyum kecil, polos dan penuh percaya.

Yadi segera membalikkan badan dan berjalan ke pintu, menyembunyikan sesuatu yang samar menghangat di dadanya.


Di tikar pandan yang usang, Lia menemukan foto polaroid itu… hasil jepretan kemarin.

Ia mengangkatnya dengan hati-hati, menyentuh bayangan dirinya sendiri yang mengangkat dua jari kikuk ke udara, di bawah langit biru yang tak terbatas.

Tangannya bergerak perlahan, menyentuh wajah mungil itu di foto.

Menyentuh langit, menyentuh perahu kayu mereka.

Walaupun hanya kertas tipis, rasanya sangat nyata.

Sangat hangat.

Lia tersenyum… senyum kecil yang lahir bukan dari perintah sistem, tapi dari sesuatu yang tumbuh perlahan dalam dirinya.


Tak lama, Yadi kembali, ditemani Pak Angga yang sudah siap menuju masjid.

Pak Angga, yang dulu menjaga android bisu itu di toko berdebu, menatap Lia dengan pandangan penuh keterkejutan.

Di hadapannya kini terlihat seorang gadis kecil bukan sekadar mesin yang membungkuk sopan dan menatap dunia dengan mata penuh cahaya.

Saat Lia bangkit ingin menyapa, ia lupa charging dock masih menempel.

Kabel itu menariknya mundur, membuat tubuh mungilnya terhuyung.

Yadi, reflek, menangkap Lia sebelum ia jatuh.

Tangannya gemetar sedikit, bukan karena berat, tapi karena sesuatu yang lebih berat… rasa takut kehilangan.

Suasana hening.

Hanya bunyi ombak dan suara kodok rawa yang membelah keheningan.

Dengan malu-malu, Lia melepaskan konektornya dan menunduk, membisik, "Maafkan aku, Tuan. Aku sudah bisa berdiri sendiri."

Lihat selengkapnya