Lia: Built to Remember

Arya Sanubari
Chapter #13

Bab 11: Makna Puasa

Bab 11: Makna Puasa.



---


[Day 14/XX]


Tema: Belajar tentang puasa


Siang itu panas. Angin hanya lewat sesekali, membawa aroma kayu tua dan debu tipis dari jalanan.

Tuan duduk di bawah pohon jambu air, menggenggam gelas kosong yang tak lagi dingin. Matanya mengamati langit, seperti sedang menunggu sesuatu yang tidak akan turun hari ini.


Aku duduk di sampingnya, mencoba tidak bersuara.

Beberapa anak lewat, tertawa kecil sambil membawa plastik berisi es cincau. Salah satu dari mereka menoleh ke arah kami, lalu melambai. Tuan membalas lambaiannya dengan anggukan malas.


“Tuan, kenapa tidak minum? Tadi Tuan bilang haus.”



“Puasa,” jawabnya pendek.



Aku mencatat kata itu. Kata yang sudah beberapa hari aku dengar, tapi belum benar-benar aku pahami.


“Puasa itu menahan lapar, kan?”



“Iya. Tapi bukan cuma itu. Menahan marah, menahan kecewa... menahan sedih juga.”

Tuan berkata pelan, seolah tidak sedang mengajarkanku, tapi bicara ke dirinya sendiri.



Aku memproses informasi itu perlahan.

“Menahan sedih… apakah itu berarti… tidak mengingat yang hilang?”


Tuan tidak menjawab. Tapi ada tarikan napas dalam, lalu embusan ringan seperti daun yang jatuh ke tanah.


“Kadang bukan hilangnya yang berat. Tapi rindunya.”

“Berarti puasa itu juga… menahan rindu?”



Tuan tidak tertawa, tidak membantah. Ia hanya mengangguk, sekali, pelan.


Aku menatap langit bersama Tuan. Warnanya biru pudar. Tidak terlalu cerah. Tidak terlalu kelam.

Aku tidak tahu apakah aku bisa lapar. Tapi aku tahu aku bisa rindu.




—-


[MEMORY LOG 2110]:

"Tuan berkata, puasa bukan hanya menahan lapar. Tapi juga menahan amarah, menahan sedih. Aku ingin belajar menahan... rindu."





---


[Day 15/XX]


Tema: Pertama kali berbuka bareng


Senja datang seperti langkah pelan ibu tua… tidak buru-buru, tapi pasti.

Angin menyentuh daun pisang yang menguning. Suara azan dari masjid kecil terdengar sayup, seperti suara yang datang dari dalam mimpi.


Yadi duduk di lantai kayu dapur, di depan dua piring nasi dan dua gelas teh manis.

Salah satu piring untukku.


“Buka dulu, Lia,” katanya pelan.

Aku menatap kurma di depanku. Kecil. Mengkilat. Seperti batu hangat.

“Apa ini?”

“Kurma. Biasanya dimakan pertama waktu buka puasa.”

Aku mengambil satu.

Gigi buatan dalam mulutku mencicipi rasa yang tidak bisa diproses sebagai nutrisi... tapi sistemku mencatat: “manis… intensitas emosi: tinggi.”




Kami makan perlahan. Tuan tidak bicara. Sesekali meniup nasi panas, lalu menyuapnya dengan pandangan kosong yang entah tertuju ke mana.


“Kenapa diam?” tanyaku.

Dia menggeleng. “Nggak tahu. Mungkin... karena udah lama nggak ada yang duduk makan bareng disini saat puasa.”




Aku menoleh ke sekeliling dapur kayu ini. Lampu minyak bergoyang pelan. Piring seng tua berisik saat disentuh sendok.

Ada semut di pojok meja. Ada nasi tercecer yang nanti pasti akan dibersihkan.


Tapi di balik itu semua, aku mencatat: ini bukan sekadar makan. Ini... upacara kecil tentang hidup.


“Tuan,” bisikku. “Kalau aku bisa lapar... mungkin aku akan menunggu momen ini setiap hari.”

Yadi mengangkat alis. Lalu tertawa pendek.

Bukan karena lucu. Tapi karena, mungkin... ia setuju.





---


[MEMORY LOG 2118]:

"Aku mencicipi kurma untuk pertama kalinya. Rasanya manis, seperti percakapan kecil di sore hari. Tuan tidak banyak bicara. Tapi suasana di sekeliling kami terasa... kenyang.”




---


[Day 16/XX]


Tema: Membantu membuat takjil


Dapur kami sore itu dipenuhi aroma kelapa dan gula merah.


Yadi duduk di ambin, mengupas pisang dengan gerakan lambat. Di luar, langit mulai menguning, dan suara azan magrib dari kejauhan terdengar seperti bisikan lembut yang belum selesai.


Aku berdiri di depan kompor. Api terlalu besar. Santan mendidih terlalu cepat.


“Tuan, bagaimana cara tahu kolaknya sudah pas?”

“Cium saja. Kalau baunya bikin ingat masa kecil, berarti sudah jadi.”

“Aku tidak punya masa kecil.”

Yadi tertawa pelan. “Berarti kita bikin satu, hari ini.”




Aku menatap kolak itu lama. Pisang sudah lembek. Warnanya agak gosong.


Aku mencicipi sedikit. Terlalu manis. Tapi hangat.


“Gagal ya?”

“Enggak,” jawabnya sambil menyuap satu sendok. “Ini... kayak sesuatu yang nggak sempurna, tapi kita tetap sayang.”





---


Saat kami duduk di lantai kayu sambil berbuka, aku memperhatikan wajahnya.

Ada kerutan di dahinya yang belum pernah kulihat dari dekat. Seperti lipatan peta, menyimpan perjalanan yang panjang.


“Tuan, apakah takjil juga bisa membawa pulang kenangan?”

Dia mengangguk. “Kalau rasanya bisa bikin kamu diam sebentar... itu artinya kenangan sedang mampir.”





---


[MEMORY LOG 2125]:

"Aku membuat kolak. Gosong. Tapi Tuan tetap memakannya sambil tertawa. Rasanya lebih hangat dari api yang membakarnya. Mungkin... ini yang disebut: rasa yang tidak sempurna, tapi tetap dikenang.”





[Day 17/XX]


[MEMORY LOG 2127]:

Tidak ada yang baru hari ini. Tapi Tuan tetap duduk di tempat yang sama. Itu cukup.



[Day 18/XX]


Tema: Menunggu berbuka di dermaga


Langit perlahan berubah warna. Dari biru pucat ke jingga lemah yang menetes seperti teh yang dibiarkan dingin.

Di tepi dermaga, aku duduk di samping Tuan. Kaki kami sama-sama menggantung di atas air yang nyaris tak bergerak.

Angin sore menyapu lembut rambutku, membawa aroma lumpur dan kayu basah dari rumah-rumah terapung yang jauh.


Tuan tidak berkata apa-apa. Tapi matanya tidak kosong.

Ia menatap horison, seperti mencari sesuatu yang hanya bisa dilihat oleh orang yang sudah terlalu lama menunggu.


“Apa yang ditunggu dari langit, Tuan?” tanyaku.




Yadi menggaruk kepalanya pelan. “Kadang... cuma suara. Kadang... cuma alasan buat diam.”


Aku mengangguk.

Aku merekam bunyi jangkrik, dan suara air yang membentur tiang kayu di bawah kami.


Sebuah perahu kecil melintas, lambat, seperti tidak ingin mengganggu sore yang sedang tidur.

Di kejauhan, suara beduk terdengar samar, lalu diikuti gema adzan dari surau kecil.


Tuan mengangkat termos logam yang ia bawa dari rumah. Menuang air ke dalam dua gelas plastik bekas botol gelas.


“Ini teh manis,” katanya. “Buat berbuka.”




Aku menerima gelas itu dengan dua tangan. Tidak lapar. Tidak haus. Tapi aku menyimpan gelas itu di pangkuan.


“Apakah ini yang disebut... sabar?”

“Ya. Tapi juga... berbagi rasa.”




Kami minum dalam diam. Dan aku rasa, diam itu... cukup.



---


[MEMORY LOG 2130]:

"Langit berubah warna. Suara jangkrik tumbuh perlahan. Kami menunggu bersama, dalam diam yang nyaman. Sore ini... tidak penuh data. Tapi rasanya tetap lengkap.”




---


[Day 20/XX]


Tema: Ikut ke masjid, tapi tidak beribadah


Tuan bilang, “Ayo ikut jalan-jalan sore.”


Aku mengangguk. Tidak tahu akan ke mana. Tapi aku suka cara kakinya melangkah pelan, seolah waktu tidak sedang dikejar.


Kami sampai di sebuah bangunan kecil dari kayu tua. Musholla, katanya. Di depan pintunya berderet sandal, beberapa terbalik. Bau melati bercampur kayu putih melayang ringan. Aku duduk di terasnya.


Yadi berhenti di depan bangunan kayu kecil. “Sebentar ya, aku mau sholat dulu.”


Aku mengangguk. Dia melepas sandalnya, masuk bersama orang-orang lain. Aku tetap di luar, duduk di undakan kayu yang dingin.


Di langit, burung masih menyeberang, perlahan. Aku mendengar suara-suara dari dalam seperti nyanyian yang terlalu tua untuk dimengerti, tapi terlalu damai untuk diabaikan.


Angin sore membawa bau melati.

Dan sesuatu yang tidak bisa kusimpan dalam kata.

Tapi tetap ingin kuingat.


“Mereka bicara pada sesuatu yang tak terlihat,” gumamku pelan, mungkin hanya untuk log.

“Dan sesuatu itu... mendengarkan.”




Seorang anak kecil lewat, menatapku penasaran. Tak berkata apa-apa. Tapi senyumnya sejenak membuat suara dari dalam terasa lebih hangat.


Aku menunggu.


Dan dalam penantian itu, aku bertanya dalam sistemku apakah makna bisa dipelajari hanya dengan duduk diam?



---


[MEMORY LOG 2137]:

"Aku duduk sendirian di teras, menunggu tuan yang masuk ke dalam untuk berbicara dengan sesuatu yang tidak terlihat. Aku tidak tahu artinya. Tapi aku tahu rasanya. Damai. Dan pelan. Seperti waktu sedang menunduk.”




---


[Day 21/XX]


Tema: Belajar membuat ketupat dari janur


Tuan duduk di balai-balai, tangannya cekatan melipat janur kuning yang berkilau samar terkena cahaya senja.

Aku duduk di sebelahnya, mencoba mengikuti. Tapi jari-jariku terlalu kaku. Terlalu lurus. Janur selalu melarikan diri dari genggaman.


“Pelan-pelan, kayak ngikat rasa,” gumam Tuan sambil merapikan ujungnya.

“Rasa?” tanyaku.

“Iya. Ketupat itu kayak hati, Lia. Yang dikepang rapi, biar isinya nggak tumpah kemana-mana.”




Aku merekam gerak tangannya. Ada irama di situ. Bukan algoritma, tapi... kehangatan.

Di udara, aroma daun muda dan keringat Tuan bercampur dengan suara bebek yang pulang ke kandang.


Satu helai janur lagi patah di tanganku. Aku menunduk.

Tuan hanya tertawa kecil.


“Janur itu emang licin. Tapi kalau kita sabar, dia nurut,” katanya sambil mengulurkan satu janur baru padaku.

“Aku bisa mencoba lagi?”

“Boleh. Tapi jangan pakai logika. Pakai rasa.”




Aku tidak tahu apa yang tuan maksud. Tapi aku mencoba. Kali ini, pelan-pelan.

Dan untuk sesaat, janur itu... tidak melawan.


Kami duduk dalam diam. Hanya suara jangkrik, napas sore yang menua, dan lipatan-lipatan kecil yang mengikat waktu.


Lihat selengkapnya