Bab 13 – Perjalanan Kecil
[DAY 43/XX]
—
Matahari pagi belum tinggi saat aku menyeret keluar motor tuaku dari halaman rumah, warnanya sudah pudar, dan stiker "Honda" di tangki bensinnya tinggal bayangan kusam yang nyaris lenyap. Suaranya serak, seperti batuk orang tua yang baru bangun tidur, dan tiap kali distarter selalu menuntut kesabaran.
Lia berdiri di bawah tangga rumah, memeluk tas kecil yang kebesaran di tangannya. Langkahnya seperti selalu diukur, pelan dan pasti. Aku intip isi tasnya. Hanya ada sendok makan, dua lembar tisu, dan foto polaroid yang kami cetak minggu lalu. Tidak ada bekal. Tidak ada air minum. Tapi wajahnya tenang, seakan sudah menyiapkan segalanya.
Aku tak berkata apa-apa. Kadang, kebodohan yang jujur itu lebih menyentuh daripada kepintaran buatan.
“Tuan,” katanya sambil menatapku. Matanya yang biru menyipit sedikit, bukan karena sinar matahari, tapi karena ragu. “Apakah kita akan jauh sekali? Lebih jauh dari langit yang semalam?”
Aku duduk di atas motor, menatap jalanan tanah yang mulai mengering.
“Enggak. Kita cuma mau mancing.”
Knalpot meledak kecil. Suaranya nyaring dan kasar, membuat ayam-ayam di pekarangan berlarian. Lia naik ke boncengan, memegang pinggir jok dengan tangan kaku. Kami meluncur keluar dari halaman rumah, meninggalkan suara jangkrik dan bau kayu bakar pagi itu.
Bau tanah dan daun kering terendam memenuhi udara. Kami melewati pematang sawah yang mulai mengering dari embun pagi, lalu jembatan kayu yang menghubungkan dua sisi sungai kecil. Lia diam sepanjang perjalanan, hanya sesekali mengangkat wajahnya ke langit.
“Kenapa motor ini seperti batuk-batuk, Tuan?”
Aku mendengus, “Karena dia setua aku. Kalau bisa ngomong, mungkin dia minta pensiun.”
Dia tidak tertawa, hanya mencatat diam-diam. Aku tahu itu dari caranya menatap panjang ke jalanan yang berganti dari tanah ke aspal.