Bab 16: “Aroma yang Tidak Dikenal, Tapi Dirasakan”
[DAY 46/XX]
Di desa ini, waktu tidak pernah tergesa.
Seperti asap dapur yang naik perlahan dari celah atap, ia tidak pernah memaksa.
Dan di rumah kecil bernuansa kayu yang menghadap kebun singkong, tinggal seorang perempuan yang dikenal tidak pernah memasak dengan takaran, tapi rasanya tak pernah keliru.
Namanya Ibu Sari.
Usianya mungkin sudah lewat enam puluh, tapi matanya masih menyala seperti api kecil di dapur. Wajahnya bulat dengan garis-garis lelah yang tidak menyedihkan. Rambutnya digelung seadanya, tak pernah rapi, tak pernah juga berantakan.
Ia bukan orang yang cerewet, tapi suaranya punya bobot.
Orang-orang bilang, kalau kamu bisa bikin Ibu Sari tersenyum, tandanya kamu sudah diterima seperti anak sendiri.
Hari itu, Lia berdiri di depan pagar rumahnya sambil membawa sekantong cabai rawit yang dibelinya pagi hari ini.
Yadi hanya mengantar sampai jalan kecil, lalu berbalik sambil berbicara:
“Hati-hati, kalau rendangnya gagal, bisa dikeluarkan dari kampung.”
Lia mengangguk tenang, tak membalas candaan itu.
Pintu dapur terbuka dengan sendirinya sebelum ia sempat mengetuk.
“Masuk. Cuci tangan. Air di kendi,”
kata Ibu Sari dari dalam tanpa menoleh.
Suaranya hangat tapi padat.
Lia mengikuti arahan itu. Air kendi terasa dingin, gemeretuk di jemarinya. Ia menatapnya lama, lalu menggosok perlahan. Entah mengapa, ia ingin cuci tangannya benar-benar bersih hari ini.
Dapur itu sempit, remang, tapi hidup.
Bau kayu terbakar bercampur aroma bawang merah yang baru diiris. Dindingnya dipenuhi gantungan bumbu, cobek batu besar di tengah lantai, dan panci-panci yang warnanya sudah pudar tapi masih setia.
“Kamu tahu rendang?”
tanya Ibu Sari sambil menyiapkan bumbu.
“Tahu, tapi belum pernah membuatnya,” jawab Lia.
“Bagus. Jadi kamu belum punya cara sendiri. Bisa belajar dari awal.”
Nada bicaranya seperti sedang mengajari cara menyulam, bukan memasak. Tak ada tekanan. Hanya pengulangan dari hal-hal yang sudah dilakukan seumur hidup.
Lia mulai mengupas bawang, memotong lengkuas, mematahkan serai. Gerakannya kaku, terlalu presisi.
Ibu Sari memperhatikan, tapi tak mengomentari.
Hanya sesekali berkata,
“Lembutkan. Kalau terlalu kuat, aromanya lari.”
Saat bumbu ditumbuk di cobek, Lia sempat memukul terlalu keras hingga sedikit tumpah. Ibu Sari menghela napas pelan, lalu menggantinya sambil berkata,