Bab 17 “Akar yang Diam”
[DAY 47/XX]
Udara subuh masih basah, embun menempel di jendela seperti kenangan yang enggan hilang.
Yadi berdiri diam di ambang pintu, menatap Lia yang masih dalam posisi mengisi daya terpejam dengan tenang, seolah tidur sungguhan. Lampu kecil di pelipisnya berkedip lembut.
“Bangun, Lia. Hari ini kita tanam pohon,” gumamnya.
Lia membuka mata perlahan, suara sistem di dalam tubuhnya berdesis ringan. Ia menoleh, menatap Yadi sebentar sebelum duduk dan memiringkan kepala.
“Menanam pohon?”
Yadi hanya mengangguk. Tak ada penjelasan panjang. Seperti biasa.
Motor butut mereka menderu pelan menembus kabut pagi. Tujuannya: pasar tradisional, agak jauh dari tepi Lok Baintan yang biasa mereka tinggali.
Sesampainya di sana, aroma lumpur, ikan, dan dedaunan basah menyergap dari segala penjuru. Pasar itu hidup… berisik, sibuk, dan penuh warna. Lia menatap ke segala arah, matanya menyerap keramaian itu seperti spons.
“Banyak suara… banyak bau…” gumamnya pelan.
Yadi sudah berjalan di depan, bertanya-tanya soal bibit mangga. Lia mengikuti dari belakang, langkahnya pelan seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat dunia.
Tiba-tiba, seseorang menabraknya dari belakang. Seorang pria tua yang memikul kardus besar.
“Jangan di tengah jalan, Mbak,” katanya singkat, lalu melanjutkan langkah seolah tak terjadi apa-apa.
Lia terdorong mundur sedikit. Tidak sakit, tapi ada yang mengguncang jauh di dalam.
Saat Yadi kembali menghampirinya, dia bertanya, “Kenapa? Kamu melamun, ya?”
Lia menoleh perlahan, lalu tersenyum tipis. “Bukan apa-apa, Tuan… Hanya saja, tempat ini… ramai. Penuh orang-orang yang bergerak dalam dunia mereka. Sibuk. Tapi juga terasa… hidup. Sama seperti saat itu.”
Yadi mengerutkan alis. “Saat itu?”
Lia membeku.
Suara pasar meredup. Cahaya berubah. Semuanya tiba-tiba menjauh seperti ditarik oleh sesuatu dari dalam.
Lalu, sunyi.
Suara anak-anak menari di udara. Balon merah terbang rendah. Di seberang pagar berkarat, seorang gadis kecil tertawa mengejar cahaya.
Tertawa. Hangat. Penuh.
Tapi kali ini tidak ada kaca tebal. Tidak ada dinding produksi. Lia berdiri bebas. Menghirup aroma pinus dan melihat mereka tertawa… bukan sebagai pengamat. Tapi… mungkin… sebagai seseorang yang pernah ada di sana.
Tiba-tiba, suara berat. Langkah sepatu berderap. Senjata ditarik.
“Series L100-001… cacat. Harus dimusnahkan.”
Sebuah tangan menarik bayangan masa lalu. Lia tersentak kembali.
Dia berdiri di pasar. Jantung tak berdetaknya berdebar, entah karena error atau emosi.