Lia: Built to Remember

Arya Sanubari
Chapter #20

Bab 18: The Scent of Being

Bab 18: The Scent of Being


[DAY 48/XX]


Subuh belum lama lewat ketika Lia membuka jendela kamarnya yang menghadap ke timur. Cahaya pagi belum sepenuhnya matang, masih terbungkus kabut tipis dan embun yang menggantung di daun pisang. Di kejauhan, suara ayam kampung memecah kesunyian, seperti lonceng alam yang menandai dimulainya satu hari baru yang biasa tapi tidak hari ini.


Hari ini istimewa.


Ia melangkah pelan ke kamar tuannya. Kaki-kakinya nyaris tak bersuara. Dalam keteduhan kamar itu, Yadi masih terbaring, napasnya panjang dan berat, seolah mimpi yang dipeluknya terlalu tua untuk dilepas. Rambutnya kusut, dan kumis serta jenggot yang tumbuh liar membuatnya terlihat seperti waktu itu sendiri lambat, diam, dan tak disadari keberadaannya.


"Tuan," bisik Lia, lembut. Tangannya menyentuh pundaknya pelan, nyaris seperti angin. "Hari ini kita harus pergi."


Yadi membuka matanya perlahan, dunia kembali masuk ke dalam retinanya yang belum sepenuhnya sadar. Butuh waktu beberapa detik sebelum ia mengangguk tanpa protes, seperti seseorang yang tiba-tiba diingatkan bahwa tubuhnya adalah rumah yang lama tak ia urus.


"Aku kelihatan setua itu, ya?" gumamnya, setengah bercanda.


"Bukan tua," jawab Lia, berdiri tegak. "Hanya... tidak terawat."



Ketika Yadi keluar rumah, Lia sudah menunggu di pelataran, berdiri lurus seperti tiang penanda waktu. Ia mengenakan blouse putih yang sederhana, rambut peraknya diikat rendah. Motor Astrea tua mereka menghela nafas pagi seperti kereta yang bersiap menuju tempat-tempat tak terduga.


Langit membuka matanya perlahan saat mereka melaju. Lia duduk di belakang, tangannya mulai terbiasa melingkar ke pinggang Yadi. Ia tak berkata apa-apa. Tak perlu. Hamparan sawah yang diselimuti kabut berbicara untuk mereka: tentang kesunyian yang dibajak pagi, tentang tanaman yang berdiri meski malam telah meluruhkan embunnya.


Dan dalam sunyi itu, Lia merasa... nyata.



Warung potong rambut itu masih sama sejak dulu: cat biru yang memudar, cermin besar dengan sudutnya retak, dan kalender lama yang tak pernah diganti. Fikri, lelaki berkumis tebal dengan suara berat seperti pagi yang malas bangun, menyambut mereka dengan mata membulat.


"Waduh, Yadi?! Ini beneran kamu? Aku kira kamu udah menetap di Jakarta selamanya!"


Yadi menjabat tangan sahabat lamanya dengan tawa kecil. "Ya, semesta ternyata lebih suka ngasih aku alasan pulang."


Percakapan mengalir seperti air yang menemukan sungainya kembali. Mereka bicara tentang Jakarta, tentang proyek yang tak jadi, dan akhirnya tentang sang ayah.


"Ayahmu... sekarang di panti jompo. Pak RT yang mindahin dia. Nggak cerita ke kamu, ya?"


Yadi menggeleng pelan. Matanya kosong sesaat, tertarik ke lubang tak kasatmata yang terbuka di dadanya.


"Beliau sudah tua banget, Yad. Tujuh puluh lewat. Dan sendirian."


Lalu, Fikri melihat Lia. Ia terdiam, memperhatikan dengan canggung.

Lihat selengkapnya