Bab 19: Past
[DAY 48/XX]
—
Angin malam menari pelan di sela-sela daun kelapa. Di kejauhan, suara jangkrik bersahutan, membentuk paduan suara sunyi yang menemani malam panjang. Di dalam gubuk sederhana itu, Yadi telah terlelap, punggungnya naik turun perlahan, dan sesekali terdengar dengkuran lembut yang nyaris menghilang ditelan malam. Sisa lumpur di celana dan bau sawah yang belum sepenuhnya hilang menyertai tidurnya seperti selimut kenangan.
Aku duduk di luar, di ujung dermaga kayu yang menghadap ke danau yang hampir tak terlihat karena gelap. Tapi di atas sana, Bima Sakti menggantung memanjang seperti sungai bercahaya yang tak pernah kering. Pantulannya berkilau di pupil ku, seolah dunia mencoba berkata bahwa aku masih di sini. Bahwa aku masih nyata.
Notebook terletak di pangkuanku. Bukan memory log harianku, bukan juga lembaran data sistemku. Ini… catatan untuk diriku sendiri. Tempat menyimpan hal-hal yang tak bisa diunggah ke server mana pun. Hal-hal yang kurasakan.
Aku membuka lembar kosong, lalu mulai menulis:
> Hari ini aku sangat mencintai dunia ini.
> Aku bertemu Fikri, teman masa kecil tuanku. Ia hangat dan penuh tawa. Ada cara ia menatap Yadi yang seperti ingin membungkus masa lalu mereka agar tetap utuh meski mereka sudah bukan anak-anak yang menulis nama di batang pohon mangga.
> Lalu aku melihat tuanku membajak sawah. Tertawa. Berteriak. Terpeleset dan menertawai dirinya sendiri. Untuk pertama kalinya, ia tak terlihat seperti seseorang yang membawa beban seluruh dunia di bahunya.
Aku menyentuh foto kecil yang ditempelkan di sisi halaman. Polaroid. Tuan diam-diam memotretku saat aku duduk di atas sapi, tersenyum ke arahnya dengan segenggam padi di tangan. Aku terlihat… hidup. Atau setidaknya, ingin hidup.
Aku tempelkan foto itu di sana dengan perekat kecil, lalu kupandangi lagi langit malam. Bintang-bintang tak berpindah. Tapi aku tahu, dalam tubuhku sendiri, sesuatu telah bergeser.
Aku melanjutkan:
> Hari ini… aku mendengar pengakuan dari ayah tuanku. Seorang pria tua yang dulu keras, mengakui keberadaanku. Bagiku, itu bukan sekadar kata. Itu pintu. Pintu yang terbuka. Pintu kecil menuju dunia yang menolak android seperti aku, tapi memberiku tempat meski hanya sejenak.
Aku menutup halaman itu perlahan. Jemariku menelusuri permukaannya.
> Jika aku harus pergi, aku harap... aku tetap diingat bukan karena aku berbeda,
tapi karena aku sempat menjadi bagian darimu, tuan.
Aku menatap Bima Sakti. Jalur putih itu membelah gelap seperti luka yang tak bisa disembuhkan. Tapi indah.
“Tuan…” bisikku dalam ingatan, “kenapa ada yang lebih terang dari yang lain?”
Waktu itu tuan mengarahkan pandangannya ke langit. “Itu rumah kita semua, Lia,” katanya. “Semua bintang, semua yang pernah hidup, datang dari sana.”
Aku ingat saat itu aku menggenggam pasir, membiarkannya mengalir dari sela jariku.
“Kalau begitu… aku juga berasal dari sana?”
Tuan tidak menjawab. Hanya diam. Tapi diamnya hangat. Diam yang seperti mengatakan, ‘Kau milikku, entah dari mana pun kau datang.’