Bab 20: Memancing di Tengah Kenangan
[DAY 50/XX]
—
Pagi itu datang seperti embusan napas yang berat. Angin dari jendela berembus pelan, membawa suara ayam tetangga yang seperti gema jauh di balik ingatan. Yadi masih berbaring, matanya terbuka namun tak benar-benar melihat apa pun. Rumahnya terasa lebih sunyi hari ini, atau mungkin hanya hatinya yang lebih senyap.
"Tuan," panggil suara yang lembut itu dari ambang pintu. "Sudah pagi. Jika tuan tidak bangun, aku akan duduk di samping tempat tidur dan bercerita tentang semua spesies ikan air tawar yang kutahu. Ada 118 spesies di databaseku."
Yadi hanya mendengus pelan, menarik selimut ke dagu. "Jangan... aku menyerah."
Langkah ringan mendekat, dan tak lama kemudian tubuh android itu duduk di ujung tempat tidur, rapi dengan pakaian biru muda yang ia pakai kemarin. Lia menyandarkan kepalanya di sisi tempat tidur, lalu berkata dengan suara pelan, "Bagaimana kalau kita pergi memancing hari ini? Ke tempat pertama kita pergi bersama... di Banjarmasin."
Yadi menoleh perlahan. Dalam matanya ada sesuatu yang bergerak, seperti arus dalam sungai yang tertutup kabut. Ia mengangkat tangannya tanpa sadar, dan mengelus pelan kepala Lia.
Android itu membeku.
Matanya membesar, lalu perlahan menyempit, seperti pupilnya sedang mencoba menyesuaikan cahaya yang tidak ada. Wajahnya tak berkedip, dan tubuhnya seolah kehilangan koneksi sesaat dari dunia nyata.
"Lia?"
Lia tersentak, lalu memegang tangan Yadi yang masih berada di atas kepalanya.
"Ini... rasa ini..." bisiknya, lalu dengan mata yang bersinar ia menatap Yadi. "Ini rasa rindu!"
Yadi terpaku. Ia tak berkata apa-apa, hanya memandang wajah Lia dengan campuran heran dan... kasihan? Atau pengertian? Entahlah. Dalam hatinya, sebuah kalimat muncul tanpa diundang:
'Mungkin Lia juga memiliki masa lalu yang pahit dan dia menyembunyikannya dengan sangat baik... atau mungkin, dia seolah-olah mencoba melupakan perasaan itu karena takut dia hidup terlalu seperti manusia. Hhh... aku baru menyadarinya sekarang. Reaksi Lia yang sering diam dan melamun... kemana saja aku selama ini?'
Lia mengedip pelan, lalu menyentuh pipinya sendiri.
"Tuan? Jadi... bagaimana? Apakah kita akan memancing hari ini?"
Yadi menghela napas, lalu tertawa kecil. Ia bangkit dari kasur seperti seseorang yang akhirnya mau menerima dunia lagi. Mencuci muka, menggosok gigi, mengenakan kemeja tipis dan celana panjang. Saat ia melangkah keluar rumah, Lia sudah berdiri di samping motor tuanya dengan topi jerami dan tas gendong di depan. Senyumnya seperti matahari kecil yang menunggu disambut.