Berita mingguan dari surat kabar Jakarta Baru, 13 November 1994:
KECELAKAAN DI TEROWONGAN CASABLANCA November 1994
Tertulis laporan yang dapat dipercaya dari beberapa saksi mata tentang kecelakaan yang mengakibatkan Liana Casandra meninggal dunia pada 13 November 1994. Honda Civic yang melaju dari arah Jatinegara dengan sengaja menyambar tubuh Liana. Sedangkan Dimas Sugiarto yang pada saat kejadian bersama Liana, kini sedang dimintai keterangan oleh kepolisian.
***
Jakarta Timur, 1992. Liana Casandra adalah siswi berkulit pucat kelas sepuluh SMA Negeri 2 Jakarta Timur. Siang ini ia melangkah di selasar sekolah, merangkul ranselnya seraya mengoceh sendirian. Liana kurus, rambutnya hitam sebahu, dan memiliki kulit wajah yang dihiasi oleh gugusan jerawat. Perasaan jengkel datang dan pergi dalam gelombang besar yang mencengkeram, membuatnya memperlambat dan mempercepat langkah seperti kucing yang sedang menyeberang. Ia memelototi kisi-kisi pagar di kirinya, rerumputan menyeruak hingga ke keramik.
Suara langkah yang cepat terdengar dari belakang, tiba-tiba Liana mendapat dorongan sebelum sempat untuk menoleh. Dorongan yang keras membuat tubuhnya terhuyung-huyung ke depan, sempoyongan, dan meraih pilar serampangan, tetapi meleset, sehingga gadis itu tersungkur di keramik berdebu. “Ugh,” gumam Liana seketika ambruk. Kemudian ia menoleh ke sosok yang mendorongnya.
Ia adalah Debi, teman sekelas yang kerap merundunginya. Debi cekikikan menatap Liana, disusul Anita dan Cindy, dua sahabat yang selalu mengekor kemana pun Debi melangkah. “Uwuwu,” ejek Debi menggelengkan kepala dan memonyongkan bibir. “Lihat! Dia mewek, si Albino mewek!”
“Hahaha,” tawa Cindy. Ia mengeluarkan permen karet dari mulut dan melemparkannya hingga menempel di rambut Liana. Ditutup dengan tendangan dari Anita ke lutut Liana, lalu mereka pun pergi meninggalkannya.
Setelah mereka pergi, Liana duduk, ia membersihkan luka di lututnya dari pasir dan debu. Kemudian menarik gumpalan permen karet dari kepala hingga tiga helai rambutnya ikutan rontok. Beruntung mereka tidak meludahinya, ia pernah mengalami hari-hari yang lebih buruk; tumpahan susu di kepala, coretan spidol di seragam, hingga nyaris tenggelam di kolam renang. Semuanya hanya karena ketiga gadis itu tidak menyukai keberadaan Liana. Liana merasa bahwa mereka menganggapnya seperti gumpalan kotoran di tengah jalan.
Gadis itu berdiri, ia mepet ke tembok seraya memperhatikan ketiga temannya melangkah menuju gerbang. Liana memandangnya penuh kebencian, memberengut seraya mengepalkan tangan. Luka di lutut kanannya menggigit, ia merasakan nyeri hingga meringis. Kemudian gadis itu jongkok lagi, meringkuk dan menangis sendirian.