Lagu-lagu Iwan Fals berdenting dari radio, menemani makan siang Edi dan Liana di ruang tengah. Edi sudah berpakaian rapi dengan kemeja flanel dan celana denim, rambutnya pun sudah tersisir lurus ke belakang, licin oleh minyak. Sandra Edelweis—mendiang istrinya memperhatikan mereka dari bingkai foto yang menempel di dinding. Wanita cantik berwajah pucat, rambutnya panjang tergerai ke belakang, alis dan bulu matanya lebat memesona—mirip Liana.
“Kamu kenal Pak Darto?” tanya Edi seraya mengunyah makanan.
“Siapa ya, Yah?” Liana menoleh, sesuap sendok berhenti di depan bibirnya.
“Bapaknya Dimas, teman sekelasmu.”
“Oh,” ucap Liana mengangkat alis. “Iya, kenapa sama Pak Darto?”
“Dia sekarang jadi mandor di tempat kerja Ayah, kemarin dia tanya kabar kamu. Ayah bilang kamu sehat dan baik.”
“Dia minta kita main ke rumahnya, Ayah bilang iya.” Edi meneguk air putih dari gelas, kemudian menatap Liana. “Dimas itu orangnya seperti apa?”
Pipi Liana merona merah, kemudian tersenyum. “Dia siswa yang pintar, Yah. Aktif dalam kegiatan sekolah dan ikut OSIS. Yang bikin aku salut sama dia, dia sering bersedekah.”
“Kamu sering ngobrol sama dia?”
Liana menggelengkan kepalanya. “Enggak.”
“Hemm—jangan terlalu jadi pendiam, Sayang. Kamu perlu bergaul. Teman-teman bisa membantu kamu dalam meraih masa depan. Apalagi teman seperti Dimas yang kamu sendiri kepribadiannya.”
Liana merunduk, menatap potongan tempe dan tumis kangkung di atas nasinya. Albino mewek! terlintas perkataan Debi di pikirannya tadi siang. Liana memberengut, kemudian mengunyah dan melongo. “Maaf, Yah,” katanya. “Liana akan coba untuk cari teman.”
Edi memegang punggung tangan Liana. “Kamu cantik, kamu lebih cantik dari yang kamu tahu. Wajah dan hati kamu—cantik. Kamu mirip seperti Mama. Kamu pasti bisa dapat teman-teman baik.”
Gadis itu menengadah menatap foto ibunya.
***