Liana Casablanca

Ariya Gesang
Chapter #3

Kecoa

Edi menarik handlift, memindahkan tumpukan kayu jati berukuran setengah meter yang akan diproses ke mesin. Ia melewati teman-teman yang menyapanya ramah, sesekali berhenti untuk minum. Puluhan mesin pemotong menderu, membisingkan telinga dan menyebarkan serbuk ke sana kemari. Kipas-kipas besar di atap berputar, menjaga suhu ruang produksi ini tetap terjaga. 

Tragedi di masa lalu yang membuat Edi kehilangan sebelah lengannya tak membuat pria itu putus asa untuk terus mencari nafkah. Orang-orang di sini sudah memercayai Edi dan menganggapnya seperti keluarga. Sebuah ruang nyaman bagi Edi untuk tetap giat bekerja. Trauma terhadap mesin-mesin di sekitarnya itu telah memudar seiring berjalannya waktu. Sudah banyak perbaikan dan perubahan yang dilakukan terhadap mesin-mesin pemotong semenjak insiden yang menimpa Edi. 

Namun, meski Edi masih berniat melanjutkan pekerjaannya di sini, atasannya meminta Edi untuk melakukan pekerjaan yang lebih ringan. Ia dipindahtugaskan menjadi pengantar barang. Edi akan sering terlihat bolak balik membawa handlift di sepanjang Pabrik Kayu Waluyo.

“Pak Edi!” pekik seorang pria dari belakangnya.

Edi berhenti dan menoleh, ia melihat Darto di kejauhan sedang melambaikan tangan memintanya untuk menghampiri. Darto adalah pria jangkung yang perawakannya kekar, kedua matanya cekung dan rajin memakai helm proyek kuning. Edi meninggalkan handlift dan melangkah ke arah Darto. Ketika Edi melangkah semakin dekat, Darto memperhatikan sepatu yang dikenakan Edi, lalu Darto menyunggingkan senyum. Kini Edi paham bahwa atasannya itu juga akan membahas sepatu barunya.

“Nah, gitu, dong! Kan lebih aman pakai sepatu baru,” kata Darto. “Saya ngeri lihat Bapak pakai sepatu yang rusak itu, kalau ketiban kayu bisa memar jempol kakinya, kan?”

“Haha, iya, Pak,” ucap Edi semringah. Ia berhenti di depan Darto dan mengambil botol minum di pinggang. “Ini hadiah dari Liana, dia paham sepatu lama saya yang sudah rusak.” Edi meneguk minumannya.

“Ya, ampun,” gumam Darto. “Anak Bapak pengertian, ya.”

Edi mengangguk. “Iya, Pak. Liana seperti yang saya bilang kemarin, dia itu mirip mamanya.”

“Saya senang dengarnya,” kata Darto, lalu ia mengambil selembar catatan dan menunjukannya kepada Edi. “Bapak Edi tahu barang ini?”

“Walnut 208,” gumam Edi mengeja tulisan yang ada di selembar kertas itu. “Oh, ini ada di Gudang Komponen, Pak. Kemarin digarap sama Topik dan Nanang. Mau saya ambilin, Pak?” 

Lihat selengkapnya