Liana Casablanca

Ariya Gesang
Chapter #4

Bunga Merah

Napasnya memburu, keringat berjatuhan dari dagu dan ujung hidung yang runcing. Menjelang senja, Dimas joging di sekitar komplek perumahannya yang tidak jauh dari pabrik kayu tempat ayahnya bekerja. Ia memakai kaus putih Star Wars dan kolor hitam. Tali sepatunya lepas satu, ia membiarkannya lantaran sebentar lagi sampai di rumah. Dimas berbelok, membuka pintu pagar rumahnya, lalu duduk di undakan serambi. Ada gantungan lonceng yang berbunyi ketika tertiup angin, suaranya gemerincing merdu dan Dimas menyukainya. Ia melepas kedua sepatu dan kaus kaki, kemudian membujurkan kedua kakinya. Napasnya masih terengah-engah, detak jantungnya pun kencang. Ia merasakan aliran darah yang membawa oksigen ke seluruh organ vital di dalam tubuhnya dengan baik. 

Langit berubah keemasan dan matahari tenggelam di balik pohon mangga. Awan-awan kapas bergerak lambat di atas burung-burung yang sedang beterbangan pulang ke rumahnya. Dimas menikmati pemandangan ini, mengamatinya hingga suhu tubuhnya menurun dan detak jantung pun mulai teratur. 

“Dimas,” panggil Linda Safitri—ibunya, yang keluar dari pintu mengenakan daster hijau berbau bawang. Tampak spatula berhiaskan butiran-butiran nasi di genggamannya. 

“Ya, Bu?” sahut Dimas menoleh ke belakang.

“Kecapnya habis, cepetan belikan Ibu kecap. Ini uangnya,” pinta Linda menyodorkan uang logam seribu rupiah.

Dimas menerimanya, kemudian berdiri dan keluar dari pagar rumah tanpa mengenakan sepatu. Ia berlari lagi melewati sembilan rumah dan sampai di warung. Dimas berhenti, tiba-tiba kedua matanya membelalak lebar-lebar ketika melihat asap hitam yang membumbung tinggi di sebelah Utara. Astaga, batinnya. Papa! Dimas mengurungkan niatnya untuk memanggil pemilik warung, ia justru meninggalkan warung dan berlari ke utara—jantungnya kembali berdegub kencang. Cowok itu berlari lebih kencang dari ketika ia joging, kekhawatiran membuatnya berpikir yang tidak-tidak tentang keselamatan ayahnya.

***


Dari Hitam Putih Liana Casandra: Pengakuan Darto Winarto yang Dikutip dari Surat Kabar Jakarta Baru, hal. 29:

Saya memang sudah mendapat dua kali laporan mengenai anak baru yang merokok di jam kerja. Namun, saya belum sempat menemui yang bersangkutan untuk menegurnya karena pekerjaan yang menumpuk. Hal ini terus menghantui hari-hari saya, membuat saya menyesali setiap detik yang saya kerjakan di hari mengenaskan itu.”

***


Satu jam sebelum kematiannya, Edi telah menumpuk meja-meja walnut di dekat pintu ruang produksi. Kemudian ia mendapat tugas lain untuk mengantarkan sebuah lemari ke Departemen Packing, Darto membantunya.

“Jadi, hari Minggu jadi main ke rumah saya sama Liana, Pak?” tutur Darto yang berada di belakang Edi, ia memegangi Lemari untuk menjaga keseimbangannya.

“Iya, Pak. Liana mau, kok.”

“Syukurlah, nanti saya minta Linda masakin sayur asem sama ikan goreng.”

“Ya, ampun, Pak. Nggak usah repot-repot.”

Lihat selengkapnya