Di pekarangan rumahnya, Liana membetulkan rantai sepeda yang lepas dan membuat tangannya belepotan oli. Sesekali nyamuk-nyamuk malam menggigit kulit dan membuatnya tidak betah. Pada putaran roda berikutnya, akhirnya Liana berhasil mengembalikan posisi rantai ke gir yang benar. Liana pun semringah.
Kini ia menyalakan keran di dekat pot-pot bunga dan mencuci tangan, gadis itu menggunakan secuil sabun batang untuk menghilangkan noda oli. Dalam aktivitasnya, gadis itu menengadah dan melihat seorang wanita yang sedang berdiri di balkon seberang rumah. Liana mengenal wanita itu dengan nama Veronica. Istri dari Bardi Gunawan. Meskipun Veronica merupakan tetangga dekat, tetapi Liana tidak akrab dengannya.
Wanita berkulit putih yang rambutnya disemir oranye itu memperhatikan aktivitasnya, Liana tak tahu pasti apakah Veronica tersenyum atau tidak. Liana pun mengabaikannya, ia kembali mencuci tangannya hingga bersih, kemudian hendak memasak sayur asem dan tempe untuk makan malam ayahnya.
Namun, saat ia akan masuk ke dalam rumah, deru mesin motor terdengar melambat di depan pagar. Lampu sorotnya menerangi pekarangan dan menyilaukan pandangan Liana. Mereka adalah Darto dan Dimas, mesin dimatikan kemudian keduanya turun dari motor. Darto dan Dimas mendekat dan berdiri di depan pintu pagar. Liana mengahamprinya, hal yang pertama dilihatnya adalah wajah sedih Dimas. Ketika ia membuka pintu pagar, Darto menangis dan langsung memeluknya.
Liana melongo dalam pelukan Darto, sementara pandangannya kosong menatap Dimas. Gadis itu menebak ada kabar buruk dari ayahnya karena Darto merupakan mandor di pabrik ayahnya bekerja, tetapi Liana terlalu takut untuk mendengarnya.
“Ayah kamu meninggal,” kata Darto. “Gudang pabrik kami kebakaran.”
Sontak Liana memberengut, bibirnya menggulung membentuk seringai yang memperlihatkan kesedihan. Dorongan yang kuat dari kabar duka itu langsung menghancurkan hatinya dengan telak. Liana merasa seperti terjun bebas dari tebing tanpa parasut. Ia mulai menderu, tidak peduli saat ini Dimas sedang menatapnya sayu.
“Jenazah ayah kamu akan segera dibawa ke sini,” lanjut Darto, “biar saya dan Dimas yang mengurus pemakamannya.”
Pandangan Liana mulai berkabut, memudar seiring berjalannya detik. Kemudian ia pun kehilangan kesadarannya.
***
EDI NUGROHO, 1950 - 1992