Liana duduk meringkuk di dalam kamar. Sementara di luar hujan turun sangat deras dan angin kencang menampar-nampar pepohonan—dua pohon cemara miring ke kiri. Desis keras masuk melalui ventilasi, diselingi oleh cahaya petir yang berkelap-kelip. Gemuruh awan juga terdengar di atas sana, sesekali meledak dan membisingkan telinga. Bayang-bayang ayahnya selalu terngiang. Memori-memori kecil bersama ayahnya terus berdatangan di kepala Liana. Ia berbaring tengkurap membenamkan wajahnya di bantal. Gadis itu menggebug kasur berkali-kali dan ia menangis lagi.
Suara ketukan pintu memaksanya menghentikan tangis, ia duduk seraya mengusap air mata dengan piama. Pandangannya tertuju kepada pintu kayu yang terkunci, ia menyeka ingus, membetulkan rambut, dan memastikan air matanya sudah hilang. Liana bangkit dari kasur dan melangkah ke pintu, dengan perlahan ia membukanya. Tampaklah Dimas yang juga sudah mengenakan piama berdiri di hadapan, cowok itu membawa segelas jahe dan roti bakar isi keju di atas nampan.
“Ini, gue bikinin buat lo,” kata Dimas.
Liana masih memberengut, tetapi ia mencoba menyembunyikan raut wajahnya dengan merunduk. “Terima kasih,” katanya seraya menerima nampan.
“Gue nggak tahu apa makanan kesukaan, lo,” ucap Dimas. “Semoga lo suka sama roti bakarnya.”
Liana mengangguk.
“Oh iya, satu lagi,” lanjut Dimas. “Besok gue anterin lo ke sekolah naik motor.”
Liana menggelengkan kepalanya. “Gue naik sepeda aja.”
“Tapi gue disuruh Papa.”
“Gue tahu.”
“Ya udah, selamat malam,” ucap Dimas.
Brag! Liana menutup pintu. “Selamat malam.”
***
Perpustakaan sekolah menjadi ruang yang paling sepi sekaligus yang paling sejuk. Di saat yang lain memanfaatkan waktu istirahat untuk berkumpul di kantin, Liana justru menyendiri di dalam perpustakaan. Gadis itu duduk di pinggir jendela, ia sedang menyelami hukum Hokke pada buku Fisika—mempelajari lebih jauh tentang elastisitas. Namun, pikirannya bercabang, kemudian kembali fokus, terus berulang seperti itu.
Liana masih tidak percaya sekarang ia hidup tanpa ayahnya. Biasanya, ia bangun pagi dan menyiapkan sarapan, tetapi tadi pagi ia justru bangun terlambat dan sarapannya pun sudah tersaji di meja makan. Gadis itu terus mencoba untuk mengikhlaskannya, seraya menumpuk memori-memori indah itu dengan materi Fisika.
Kenangan-kenangan bersama sang ayah timbul tenggelam, ia merasakan lubang dalam itu. Liana ingat beberapa penulis pernah membahas bahwa kematian seseorang yang dicintai akan membuat lubang sangat dalam pada diri kita. Itulah yang saat ini Liana rasakan.
Klak! Pintu perpustakaan terbuka, mengalihkan perhatian Liana dan membuatnya menoleh ke belakang. Seseorang yang tidak diduga telah berdiri di pintu, sosok yang jarang sekali masuk ke dalam perpustakaan. Si cantik Debi dan dua sahabatnya.