Liana mengamati pusaran kopi hitam di dalam cangkir yang sedang diaduknya. Ia menambahkan gula setengah sendok kecil, lalu mengaduknya lagi. Setelah jadi, ia membawa cangkir kopi itu dari dapur melewati Darto yang sedang menonton TV. Liana terus melangkah menuju pintu, suara gerimis berbisik dari celah-celah di tembok, ia berhenti tepat di depan pintu. Liana tampak bingung, gadis itu merunduk, dan menempelkan keningnya pada pintu. Dimas, batinnya. Ia mengumpulkan keberaniannya, lalu mengumpulkan semua kebaikan-kebaikan yang ada di dalam dirinya. Gadis itu ingin menunjukkannya kepada Dimas. Mungkin sebagai rasa terima kasih, tetapi ia sendiri tidak yakin bahwa ia perlu mengucapkan terima kasih kepadanya. Sebab, bagi Liana yang dilakukan Dimas tadi pagi adalah hal bodoh. Beberapa detik kemudian semua kebaikan-kebaikan dalam dirinya pun terkumpul dan bercampur dengan keberaniannya. Liana membuka pintu.
Meski Liana telah memakai sweter rajut, tetapi dinginnya malam masih terasa merasuk ke dalam tulang. Ia menggigil ketika membuka pintu, angin yang berembus kencang langsung menerpanya—gadis itu juga menggertakkan giginya. Liana melangkah lambat di pekarangan rumah, membawa secangkir kopi hitam yang aroma lezatnya menguar hingga ke hidung. Pandangan Liana tertuju pada gemerlap lampu yang menghiasi gerobak roti bakar di depan pagar. Ada Dimas di sana, ia sedang duduk sendirian menunggu pembeli. Ketika malam hari, Dimas membantu perekonomian keluarga dengan berjualan roti bakar di depan rumah. Cuaca malam ini gerimis, jalanan di luar pagar rumah Darto jadi sepi. Hanya ada satu, dua kendaraan yang lewat, dan terkadang mampir untuk membeli sebungkus.
Dimas menoleh kepadanya saat mendengar Liana membuka pintu pagar. Rambut panjang Liana berdesir oleh angin, sebagian menutupi mata. “Ini, buat lo,” ucap Liana menyodorkan gelas berisi kopi.
Dimas menengadah menatap mata Liana, sesaat cowok itu tampak terkejut ketika Liana tiba-tiba datang menghampiri. Ia menerima pemberian dari Liana. “Terima kasih,” kata Dimas.
“Sama-sama,” jawab Liana, ia berbalik dengan canggung dan kembali melangkah ke pintu pagar.
“Hei,” panggil Dimas sebelum Liana melangkah masuk. Gadis itu berhenti, ia berbalik dan menatap Dimas lagi. “Sebenarnya, siapa yang masukin lo ke dalam lemari?” tanya Dimas.
“Kenapa lo bohong sama semua orang?” Liana justru bertanya balik.
“Karena kalau nggak ada yang ngaku, lo bakal dianggap aneh sama anak-anak.”
“Gue nggak keberatan,” jawab Liana. “Sekarang gue ngerasa bersalah, gara-gara gue, lo jadi di-skors dan dicopot dari ketua OSIS!”
“Gue nggak keberatan dikeluarkan dari anggota OSIS,” kata Dimas. “Gue lebih keberatan kalau lo dianggap aneh sama anak-anak.”
Liana terdiam, ia terpaku memandangi sepasang mata sipit Dimas yang menatapnya serius. Gadis itu tidak punya jawaban lagi, akhirnya ia berbalik dan kembali melangkah masuk ke rumah. “Nggak usah ikut campur urusan gue lagi!” seru Liana seraya menjauh.
***