Sepulang dari sekolah, Liana berdiri di bawah guyuran shower di dalam kamar mandi. Rambut panjangnya menempel pada wajah, ia membiarkan air memercik ke kulit dan mengalir turun. Pandangannya tertuju pada kisi-kisi lubang pembuangan di sudut lantai. Gelap. Ia ingat hari saat dirinya terkurung di dalam lemari. Di dalam sana ia tidak bisa duduk atau jongkok, sempit sekali, dan membuat kaki-kakinya terasa kaku. Di dalam sana juga pengap, hanya ada lubang kecil yang membantunya bernapas. Ketika ia berdiri di dalam lemari, gadis itu membayangkan dirinya berperan sebagai mumi yang diawetkan dalam peti seraya meminta tolong kepada siapa pun.
Padahal saat itu Liana sudah meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia akan melewati momen buruknya dengan segera. Namun, ketika ia merasakan matanya berkunang-kunang, gadis itu nyaris menyerah dengan hidupnya. Ia merasakan semua rasa sakit yang dialaminya seumur hidup terkumpul pada hari itu, di dalam lemari yang nyaris merengut nyawanya. Semuanya menimbulkan ketakutan dalam diri Liana, ketakutan yang melahirkan pertanyaan segila apa mereka bertiga akan mengerjainya lagi?
Liana mengucurkan sampo di kepala, ia mengerjapkan mata saat cairan sampo mengalir ke kelopak. Cekik lehernya dengan kawat, batin Liana. Terlintas adegan pembunuhan dari novel Black Knife yang dibacanya. Si pembunuh yang bernama Jane mendatangi rumah Tom, ia mencekik leher Tom dengan tali layar, lalu menggantung jasad Tom di bawah kipas. Terbesit di hati Liana untuk melakukan adegan yang sama terhadap Debi, tetapi ia tidak punya keterampilan, gadis itu ragu bisa melakukannya. Bahkan ia tidak punya keberanian. Belum.
Liana membungkus dirinya dengan handuk, lalu keluar dari kamar mandi. Sensasi mint ia rasakan di mulut, bau sampo membekas di sepanjang ruangan yang dilewati. Gadis itu menaiki anak tangga, masuk ke dalam kamar, dan memakai setelan santai. Setelah berganti pakaian, ia duduk di meja belajar.
***
Brag! Debi kembali menggebrag pintu kulkas dengan kasar setelah ia melihat isinya kosong. Belakangan ini gadis itu kesal dengan ayahnya yang sering menghabiskan waktu di sekolah, begitu juga ibunya yang kerap pulang terlambat dari kantor. Membuat Debi harus membeli makanan atau camilan sendiri ke luar rumah. Kekesalannya hari ini diawali dari kegagalannya merundungi Liana lagi.
Tadi siang, ia, Anita, dan Cindy sudah berencana untuk memangkas habis rambut Liana. Cindy sudah membawa gunting rambut yang dipinjamnya dari kakaknya yang tukang cukur. Namun, saat ketiganya hendak masuk ke dalam perpustakaan, mereka melihat Dimas sedang duduk di kursi yang lokasinya berdekatan dengan perpustakaan. Hal itu membuat Debi dan kawan-kawan mengurungkan niatnya untuk menghampiri Liana. Semerta-merta mereka pun curiga bahwa Dimas sedang mengawasi Liana.
“Brengsek,” gumam Debi, ia menyalakan TV tabung untuk mengisi keheningan di rumahnya yang sepi. Warkop DKI sedang beraksi di pinggir pantai, gadis-gadis bermain voli tanpa sensor. Debi mengabaikannya dan duduk di sofa, sekarang ia merasa harapannya untuk dekat dengan Dimas seolah menjauh, seperti perahu yang mulai menjauh dari dermaga. Ia menarik napas panjang kemudian mengembuskannya. Ketika memejamkan mata, wajah Liana langsung muncul dalam benaknya. Saat itu juga ia menyadari bahwa dirinya merasa semakin kesal kepada Liana. Albino semakin membesar dan membesar, batinnya.
***
Menjelang senja,a Liana duduk di kursi panjang di pinggir lapangan bersama Linda. Liana menjilat es krim stroberi yang lumer ke jemari. Pohon dan rerumputan tertiup oleh embusan angin, terkadang menghantarkan daun-daun kering hingga menempel di rambutnya. Di tengah lapang, anak-anak belasan tahun sedang bermain bola, mereka menjerit ketika mencetak gol, lalu bertengkar dan salah satunya mengalah. Liana dan Linda menikmatinya.
“—kamu yang bener, dong! Jagain belakang—”