Ingar bingar lalu lalang kendaraan mengiringi Liana yang sedang mengayuh sepeda sayurnya. Lampu-lampu kota menerangi jalan di malam hari, sesekali suara klakson membuatnya harus lebih menepi ke pinggiran. Gaun putih pendek yang ia kenakan berkibar oleh angin, seirama dengan gerakan rambut panjangnya. Liana membetulkan ransel yang sedikit melorot. Dalam perjalanan, gadis itu mengingat apa saja yang harus ia bawa dari rumah lamanya. Liana mengingat buku Sejarah dan Biologi yang tertinggal, spatula, pisau dapur, mungkin mug logam yang biasa digunakan oleh mendiang ayahnya. Namun, hal yang paling kental di kepala adalah suasana di dalam rumah itu, ia yakin akan mendapati keheningan yang suram dari sekumpulan kenangan indah yang kini menjadi perih. Liana berbelok di tikungan terakhir, dari sini ia bisa melihat pagar rumah miliknya, lampu di serambi masih menyala. Kebisingan yang tadi Liana dengar, kini seolah lenyap saat ia melaju di jalanan rumahnya—sepi senyap.
Liana sampai, ia turun dari sepeda kemudian membuka kunci pintu pagar. Saat itu juga gerimis datang dengan tiba-tiba, membuat Liana mempercepat langkahnya menuntun sepeda masuk ke dalam pekarangan. Ia berlari menaiki undakan saat hujan deras mengguyur, beruntung ia masih sempat masuk ke serambi. Sepedanya basah kuyup, kilauan air memercik di kerangka logam. Liana memungut kunci dari dalam ransel, gadis itu mulai membuka pintu rumah. Aroma melati masih samar menguar saat pintu terbuka. Ia melepas sandal, melangkah masuk, dan kemudian meraba sakelar di dinding. Klak! Lampu ruang tengah menyala, menerangi separuh jalan di koridor yang menuju ke anak tangga.
Liana melangkah semakin ke dalam, menyusuri koridor seraya meraba sakelar lampu belakang. Klak! Lampu belakang menyala, ia bisa melihat balon-balon yang sempat dihias di pintu kamar ayahnya. Dapur dan anak tangga yang menuju ke kamarnya pun tampak terang dari sini. Liana menaiki anak tangga, ia menekan sakelar lampu yang ketiga, dan lantai dua menyala terang. Air hujan tampak menetes dari atap yang bocor, membasahi salah satu anak tangga yang reyot. Tiba-tiba Liana mengernyit dan melambatkan langkah, ia menyadari bau yang asing. Vanila? batinnya.
***
Pukul delapan lewat, Bardi memarkirkan mobil van berwarna krem di belakang rumah mendiang Edi Nugroho. Ia duduk bersebelahan dengan Veronica, keduanya sudah memakai setelan serbagelap, lengkap dengan sarung tangan karet dan sarung kepala. Meski rumah mereka dekat, tetapi mereka berinisiatif menyewa mobil untuk kabur jika saja ada sesuatu yang terjadi di luar rencana. Dalam hitungan ketiga, keduanya turun dari mobil dan langsung menaiki pagar belakang rumah. Tinggi pagar hanya satu setengah meter, tidak masalah bagi keduanya yang sudah terbiasa melakukan pekerjaan ini.
Mereka melompat dari atas pagar ke halaman belakang rumah dengan gampang, kemudian bergegas menuju ke arah pintu. Tampaklah pintu kayu yang dikunci menggunakan gembok perak. Bardi mengeluarkan linggis dan palu dari dalam ranselnya. Ia berdiri tegak, lalu mengarahkan mata linggis ke gembok yang mengunci. Dug! Dengan sekali hantaman palu ke linggis, gembok perak itu terbuka. Veronica melirik ke sana kemari, berharap tidak ada seseorang yang mendengarnya.
Klak! Bardi menekan daun pintu, ternyata pintu masih terkunci. Ia jongkok di depan pintu, menaruh palu dan linggis di lantai. Pria itu mengeluarkan dua buah kawat kecil yang berbentuk huruf r dan satunya berbentuk huruf L dari saku celana. Kemudian ia memasukkan kawat yang berbentuk huruf L itu ke bagian dasar dari lubang kunci. Pria itu juga memasukkan kawat yang berbentuk huruf r di bagian atas kawat L. Kemudian Bardi menggunakan ujung bawah kawat r untuk mencari dan menekan pin lubang ke atas hingga keluar dari rumah kunci—dan kunci terbuka dengan sendirinya.
Klak! Bardi berhasil membuka pintu belakang, ia pun melangkah masuk, diikuti oleh Veronica dibelakangnya. Mereka menyalakan senter dan berpisah, Bardi naik ke lantai atas, sedangkan Veronica memeriksa lantai bawah.