Semerta-merta Liana memiliki gagasan bahwa saat ini si pencuri hendak membunuhnya. Gadis itu meronta, tetapi tenaga dari pencuri yang mendekapnya dari belakang sangatlah kuat. Beberapa detik kemudian Liana mulai kesulitan untuk bernapas, membuatnya merasakan perasaan yang sama ketika berada di dalam lemari. Hanya saja, sekarang ia berada dalam keadaan berbaring dan seorang pencuri menutup mulut dan hidungnya sekuat tenaga. Semua rasa sakit itu muncul bergantian di kepala, seperti penggalan-penggalan film yang dijadikan satu. Albino, gumpalan permen karet, kedalaman kolam renang, tendangan di lutut, lemari yang pengap, jambakan, semuanya bermunculan dengan jelas di kepala.
Awalnya Liana merasa sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Ketika Debi dan teman-teman menyiksa, Liana sudah biasa terdiam dan pasrah. Kini hal itu membuatnya tidak mengeluarkan tenaga untuk melawan dekapan yang perlahan sedang menghantarkannya menuju ajal. Kemudian Liana melihat sosok yang tadi mengejarnya dari atas, salah satu pencuri jatuh dari tangga dan tumbang di lantai di depan kamar ayahnya.
Cekik lehernya dengan kawat, batin Liana. Sosok Jane dalam novel Black Knife kembali muncul di dalam benak, membuat Liana membuka matanya lebar-lebar dan keberanian muncul dalam dirinya.
Ia berpikir bahwa ini adalah momennya, saat di mana ia harus melawan, berenang menuju permukaan dari kedalaman laut yang gelap. “Arggghhh!” Liana mengerang, gadis itu menggigit telapak tangan yang menutupi hidung dan mulutnya. Gigi-gigi Liana menancap hingga menembus sarung tangan karet. Sekilas Liana mendengar erangan dari pencuri yang mendekapnya. Ia bisa memastikan bahwa pencuri itu merasakan sakit. Kemudian gadis itu menggerakkan siku tangan kirinya ke belakang dan menghantam keras perut pencuri tersebut.
Dug! Bungkaman tangan itu pun terlepas. Liana keluar dari dekapannya, gadis itu bergegas jongkok dan menoleh ke pencuri yang nyaris membunuhnya. Pencuri itu berbaring memegangi perutnya sendiri, ia tampak kesakitan setelah menerima pukulan siku. Kemudian pencuri itu jongkok dan berusaha melakukan perlawan pada Liana.
“Arrrggghhh!!!” Liana kembali mengerang, kali ini diiringi cahaya dan ledakan petir yang menggelegar. Bola mata Liana membelalak selebar-lebarnya, ia menyeringai saat menerjang. Hantaman telak mendarat di pelipis si pencuri, membuat pencuri itu tersungkur lagi di permadani. Punggungnya menabrak lemari kecil yang berisi perkakas milik mendiang Edi Nugroho hingga menimbulkan bunyi berdebum. Palu, pahat, bor, linggis, gergaji, dan paku-paku berserakan di permadani. Dengan ganas, Liana menindih tubuh si pencuri, ia menghujamkan hantaman berkali-kali ke wajah di balik sarung kepala itu. Setelah lima pukulan di wajah, ia membuka sarung kepala si pencuri.
Pergerakan Liana terhenti, ia terpaku mendapati sosok yang tidak asing lagi di matanya. Veronica sedang terengah-engah dalam setelan serbahitam. Veronica memiliki kesempatan untuk melawan, ia mendorong Liana dari tubuhnya sekuat tenaga. Mendorongnya hingga Liana terpelanting mundur menjauh.
Tangan Veronica menyentuh linggis, ia menoleh ke kiri dan memungut linggis itu untuk melawan Liana. Dug! Liana menghantamkan palu ke kepala Veronica dengan keras, gadis itu bergerak lebih cepat dari Veronica. Derak tengkorak yang remuk terdengar ngilu. Veronica terkapar, matanya menggeletar, napasnya terisak keluar masuk dari tenggorokan. Telapak tangannya membuka, menggulingkan linggis di permadani.
Ia belum mati, tetapi darah sedang terkucur dari pelipis kirinya. Veronica masih bisa tengkurap dan berusaha merangkak menjauhi Liana, ia merayap perlahan seperti buaya. Kuncirnya terlepas, membuat rambut oranye itu tergerai berantakan dan menutupi sebagian wajah.