Linda sudah sepakat dengan pihak kepolisian: Kabar Liana yang berhasil selamat dari serangan dua orang pencuri tidak akan dibeberkan ke media massa, terlebih adanya perlawanan yang membuat Veronica meninggal. Tidak lain karena hal ini bisa memengaruhi mental Liana. Gadis itu masih di bawah umur, ia lebih membutuhkan ketenangan untuk belajar daripada mendengar tanggapan negatif positif dari orang-orang di sekitarnya. Linda harus merogoh kocek hingga lima juta rupiah untuk kesepakatan itu.
Pukul sepuluh malam, Linda dan keluarganya membawa Liana kembali pulang ke rumah, mereka menumpangi mobil Kijang abu-abu. Liana duduk di jok belakang, ia terdiam membisu. Tatapan gadis itu tertuju ke luar jendela, memandangi transisi gedung dan lampu-lampu jalanan. Saat melewati kegelapan, ia bisa melihat refleksi wajahnya sendiri di kaca. Dingin, pucat, dan cantik. Ia tidak menganggap dirinya sinting. Liana merasa apa yang dilakukannya malam ini adalah hal yang patut dilakukan. Jane, batinnya.
“Liana,” panggil Dimas yang duduk di sebelahnya.
Liana menoleh, ia melihat Dimas menyodorkan sebungkus cokelat.
“Terima kasih, Dimas,” ucap Liana menerima cokelat itu, kemudian Dimas juga memberikannya sebotol air mineral.
Mereka tidak banyak berbicara, dan hal itu membuat Liana nyaman. Gadis itu mengunyah cokelat dan perasaannya pun semakin membaik. Bayang-bayang darah Veronica yang mengalir di mata palu membuat Liana menyunggingkan senyum. Bayang-bayang Bardi yang dibawa ke kantor polisi juga membuatnya tertawa kecil. Jika tidak ada Dimas dan Linda, tawa kecil itu sudah menjadi tawa membahana.
***
Kali ini Liana menengadah pada guyuran shower, memejamkan mata menikmati percikan air yang berjatuhan ke wajah. Ia membuka mulut, lalu menyembur saat air sudah memenuhi mulutnya. Ada fakta yang berhasil ia sembunyikan dari kepolisian, fakta bahwa ia merasa telah menyiksa Veronica alih-alih membela diri. Hal itu membuat Liana merentangkan kedua tangan, lalu tertawa tanpa suara. Terselip pikiran-pikiran untuk melakukan hal yang sama kepada Debi dan teman-temannya. Namun, ia butuh rencana, dan secara alami kepingan-kepingan rencana itu berdatangan di kepala. Liana tidak ingin merunduk lagi di depan mereka—tidak.
***
“Gue males banget ngerjain Biologi, sumpah!” tutur Debi kepada Cindy yang duduk disampingnya. Ia memutar-mutar pulpen di jemari tangan. Guru Biologi yang seharusnya memberi materi siang ini sedang berhalangan hadir, dan semua siswa mendapat tugas tiga puluh soal esai.
“Sama, gue juga,” kata Cindy. “Tapi kalau kita nggak ngerjain, kita bakal berdiri di luar kelas Rabu depan.”