Cindy bangkit dari kursi, ia meregangkan sendi-sendinya yang terasa pegal hingga mendedas. Kemudian menguap panjang seraya menatap jam di dinding. Sembilan kurang seperempat, batinnya. Ia memasukkan kantong plastik berisi uang ke dalam ransel, lalu melangkah menuju ke pintu toilet untuk mematikan lampu seperti biasa.
Gadis itu mengunyah permen karet, ketika hendak mematikan lampu toilet, ia terkejut dengan lampu utama yang tiba-tiba padam. Mati listrik? batin Cindy, ia berhenti melangkah, tetapi cahaya dari toilet mengatakannya tidak, jelas-jelas listik masih menyala. Ia kebingungan. Apa lampunya rusak? pikirnya. Saat ia berbalik untuk melangkah menuju sakelar lampu utama yang ada di dekat bilik kasir, ia dikejutkan dengan siluet perempuan berambut panjang yang kini sudah berdiri di hadapannya. Saat itu juga ia merasakan sekeping kengerian.
Cindy membelalak, rasa panik membuatnya tersendak oleh permen karet yang sedang ia kunyah. Permen karet itu masuk ke tenggorokan sehingga membuatnya kesulitan untuk berteriak—suaranya tertahan. Ia mulai kesulitan untuk bernapas. Berikutnya Cindy merasakan dinginnya logam mata pisau yang menembus masuk ke dalam dada. Sepersekian detik kemudian kepalanya pun mulai pusing. Brag! Cindy tumbang di lantai, melongo menghadap pohon beringin yang besar di luar ruko. Jantungnya pun berhenti berdetak.
***
Liana terpaku untuk beberapa detik saat memandangi Cindy yang telah mengembuskan napas terakhirnya. Pisau baru di genggaman tangannya kini mengucurkan darah si gadis permen karet. Bau anyir timbul tenggelam dihirupnya. Kemudian ia jongkok, lalu menggunakan kaus yang dipakai Cindy untuk membersihkan darah pada pisau. Setelah bersih, Liana membuka ritsleting ransel milik Cindy. Gadis itu menemukan kantong plastik berisi uang, ia tidak ingin memberikan kecurigaan kepada kedua teman brengsek si gadis permen karet ini atau kepada siapa pun bahwa ada seseorang yang dendam lalu membunuh Cindy. Liana ingin membuat pembunuhan ini seolah menjadi kasus perampokan, maka Liana berdiri lagi seraya menenteng pisau dan kantong plastik berisi uang itu, kemudian meninggalkan mayat Cindy membeku di keramik yang dingin. Tidak hanya itu, Liana membuka semua laci dan lemari di bilik kasir. Menendang kursi hingga terbaring, semuanya dibuat agar seolah-olah seorang pencuri telah menggeledah isi ruko.
Liana melangkah keluar dengan tenang. Ia tidak menoleh ke sana-kemari, pandangannya lurus ke depan. Pisau yang telah digunakan juga tidak disembunyikan, berkilauan oleh lampu di jalanan yang sepi. Gemerincing uang logam terdengar di setiap langkah, tetapi tidak banyak yang melintas di daerah ini, hanya satu, dua kendaraan yang lewat dengan kecepatan tinggi. Jantungnya berdegub kencang, membayangkan tidak akan ada lagi permen karet yang menempel di rambut panjangnya nanti.
Gadis itu mengeluarkan sepedanya dari pos satpam, lalu memasukkan pisau dan sarung tangan ke dalam keranjang sepeda. Kemarin Dimas kepedasan makan nasi goreng, makanya sekarang minta jangan yang pedas, batin Liana. Ia mulai mengayuh sepeda menuju ke penjual nasi goreng.
***
Dari Hitam Putih Liana Casandra: Pengakuan Yuyun Puspita, Ibu Kandung Cindy Larasati yang Dikutip dari Surat Kabar Jakarta Baru, hal. 43:
Oktober itu saya sedang demam. Biasanya saya dan Cindy yang menjaga ruko sampai tutup. Sebenarnya saya sudah berniat untuk berhenti mengontrak di ruko yang terletak di Jalan Melati itu, lantaran peralihan lalu lintas membuat Jalan Melati jadi sepi setiap hari dan omset saya menurun. Saya belum menemukan yang tempat yang cocok, hingga kabar itu pun datang. Kekhawatiran saya menjadi nyata. Cindy adalah gadis yang imut dan punya teman-teman yang baik. Hati saya hancur. Saya berharap polisi bisa menemukan pelaku perampokan dan menghukum seberat-beratnya.
***
Liana mengunci kamar mandi. Ia mencuci sarung tangan karet yang sempat terciprat oleh darah Cindy. Gadis itu Jongkok di sudut dan mengguyur sarung tangan menggunakan gayung. Darah segar mengalir ke lantai bersama air menuju ke lubang pembuangan. Ia juga memeriksa kaus dan celana yang dikenakannya, barangkali ada noda darah yang luput dari penglihatan.
“Liana,” Linda memanggilnya dari ruang tengah. “Dipanggil Dimas, tuh. Katanya mau makan?”
“Iya, Bu,” sahut Liana seraya mengucek sarung tangan dengan sabun. “Sebentar.”