Liana enggan beranjak pulang ke rumah, ia lebih memilih menyendiri di halaman belakang sekolah. Gadis itu duduk di ayunan di bawah pohon beringin, ia memikirkan cara bagaimana membunuh Anita, tetapi kesulitan. Cindy berbeda, gadis itu sendirian di ruko sehingga memudahkan Liana untuk membunuh. Anita adalah anak orang kaya, kalaupun ia sedang sendirian, mungkin ada kamera pengawas di rumahnya. Belum lagi mungkin ada pintu gerbang atau satpam yang berjaga.
Gadis itu menggerakkan ayunan, tali tambang yang terikat kencang pun berdecit. Kupu-kupu merah terbang mengelilingi, dan daun-daun kering di tanah terempas ringan oleh angin. Bola mata Liana mengikuti ke mana kupu-kupu itu mengepakkan sayapnya. Kupu-kupu merah terbang meninggi, lalu hinggap di dinding sekolah. Liana turun dari ayunan dan berjalan dua langkah, kepalanya semakin mendongak karena pandangannya tidak ingin lepas dari kupu-kupu merah. Tak lama kemudian kupu-kupu merah terbang lagi lalu hilang dari pandangan. Gadis itu tahu bahwa si kupu-kupu merah telah menunjukkan rooftop sekolah kepadanya.
“Lo nggak pulang?” tanya Dimas dari belakang.
Liana terkejut dan menoleh, ia tidak menduga Dimas ada di belakang ayunan. “Nanti,” jawab Liana membalikkan badan menatap Dimas.
“Lo lagi apa di sini?”
“Lihat kupu-kupu.”
Dimas tersenyum, lalu pandangannya menuju ke atas. “Mana?”
“Udah pergi.”
“Lo masih mau di sini?”
Liana mengangguk.
“Ya udah,” kata Dimas seraya melihat arloji yang melingkar di lengan kirinya. “Gue balik duluan, lo jangan lama-lama di sini, udah sepi.”
“Iya.”
Dimas berpaling, lalu cowok itu mulai melangkah meninggalkan Liana.
“Tunggu!” seru Liana.
Dimas menoleh dan mengernyitkan alis.
“Lo ngikutin gue terus, kenapa?”
Dimas berbalik lagi menghadap Liana. “Gue takut.”
“Takut apa?”
“Takut ada yang jahatin lo lagi.”
Sepoi angin berembus lirih, menghantarkan sehelai daun ke rambut panjang Liana. Ia diam beberapa detik memandangi Dimas, cowok yang belakangan ini selalu memberi perhatian untuknya. Tampan, berpenampilan rapi, dan yang paling mencolok bagi Liana adalah bahwa Dimas memiliki hati yang baik. “Temenin gue di sini, sebentar.”
Dimas tampak terkejut mendengar permintaan yang terlontar dari Liana. “I-iya.”
***
Keluarga konglomerat, itu adalah frasa yang tepat untuk menggambarkan status sosial keluarga Anita Rahayu. Jutaan bintang terpampang dari balik atap kaca, ada jacuzzi seluas lima meter persegi yang sedang ditempati oleh Anita dan Debi. Nuansa ruangan bercahaya biru, dihiasi oleh kelap-kelip lampu hias yang merambat di dinding. Pot-pot tanaman juga tertata rapi, favorit Anita adalah kaktus setinggi satu setengah meter. Malam ini ia dan Debi memakai kaus santai yang sudah basah kuyup, uap air hangat beterbangan di sekeliling mereka. Anita menuangkan soda ke gelas kaca, lalu mereka bersulang untuk Cindy.
“Buat sahabat kita,” kata Debi.
“Buat sahabat kita.”
Mereka meneguknya. Gelombang air mengingatkan Anita pada hari saat ia dan Cindy mengerjai Liana di dalam kolam renang. Keseruan itu membuatnya tak tahan untuk dibahas. “Lo inget waktu gue dan Cindy kerjain si Albino di kolam renang?” tanya Anita seraya menaruh gelas di pinggiran.