Liana Casablanca

Ariya Gesang
Chapter #15

Rooftop Bagian Dua

Bardi duduk di atas papan kayu yang dilapisi kardus di dalam kamar Rumah Tahanan Bambu Hitam, Jakarta Timur. Rambutnya sudah dicukur ngasal sampai gundul. Di sudut ruangan, seorang pria berbadan kurus duduk menatapnya—teman satu kamar. Rambut pria itu cepak dan putih, punya kumis persegi yang juga putih. Ia melemparkan sebatang rokok hingga mendarat di jemari kaki Bardi, Bardi pun memungut batang rokoknya. 

“Buat lo, Bang,” kata pria itu.

“Terima kasih,” jawab Bardi. “Nama lo siapa, Bang?”

“Santo.” Santo melemparkan korek gas ke Bardi.

“Santo,” gumam Bardi menyulut korek. “Udah lama di sini, Bang Santo?” Bardi mengembuskan asap rokok.

“Satu tahun,” jawab Santo.

“Lumayan, ya. Kasus apa, Bang?”

“Narkoba.”

“Lo pengedar, Bang?”

“Ya,” jawab Santo mengangguk. “Lo sendiri kenapa sampai di tempat ini?”

“Kacau, Bang,” jawab Bardi. “Gue dan istri gue gagal nyolong. Lebih parahnya lagi istri gue meninggal.” Bardi berpaling dari Santo, ia termenung memandangi jeruji besi di sampingnya—berkarat dan dingin saat digenggam.

“Gue turut berduka,” ucap Santo.

“Terima kasih.”

  Veronica berusaha membunuh Liana, tapi Liana melawan dan ketidakberuntungan dialami oleh Veronica. Ia meninggal setelah menerima beberapa luka-luka yang fatal, terlintas perkataan Pak Slamet—petugas polisi yang saat itu memberi kabar duka kepadanya di dalam rumah sakit.

“Semoga kita bisa berteman baik di dalam sini,” ucap Santo, ia membersihkan tangannya dari gumpalan-gumpalan tanah yang menempel.

***

Kantin sekolah dipenuhi oleh jeritan, gaung, dan jenis musik city pop dari radio. Beberapa siswa berlarian dan bersenda gurau satu sama lain, menikmati waktu istirahat yang tersisa sepuluh menit lagi. Sedangkan di luar ruangan cuacanya semakin gelap, awan di atas sudah menyimpan lautan hujan yang siap dimuntahkan kapan saja. Angin berembus kencang ke barat, melempar tong sampah dan menampar-nampar jendela.

Beberapa jam sebelum kematiannya, Anita dan Debi bersantai di meja kantin, memakan siomai dalam bungkusan plastik yang membuat bibir mereka belepotan saus. Debi terkekeh ketika Anita memproyeksikan ekspresi wajah guru Fisikanya yang terlihat tolol. 

“Aduh, gue ngantuk banget tadi, sumpah!” ujar Anita.

“Mau gimana lagi? Kan gue udah pernah bilang kalau Bu Hilda itu jago hipnotis,” tutur Debi seraya mengunyah.

“Hahaha. Parah, ya.”

Sekor kupu-kupu dengan sayap yang lebar berwarna merah hinggap di meja mereka. Keduanya langsung melirik dan mengamati. 

“Bagus banget kupu-kupunya,” ucap Debi.

“Iya.” Anita menoleh ke jendela, ia melihat kegelapan yang membekukan lapangan. “Di luar cuacanya buruk banget, pasti karena itu kupu-kupu merah ini jadi masuk ke kantin.”

“Kupu-kupu makannya apa, sih?” tanya Debi. “Bunga kali, ya?”

Lihat selengkapnya