Liar! Liar! Liar! Liar!

Ei
Chapter #1

Prolog

Kebohongan pertama yang kulakukan adalah saat usiaku empat tahun.

Baru kali itu aku merasa sangat ketakutan hingga aku melupakan apa yang harus kuhindari seumur hidupku. Ibu selalu berkata bahwa kebohongan adalah hal yang tercela, hal yang tidak jantan, hal yang patut untuk dihindari oleh pria hebat yang kukagumi―yaitu pria yang kubayangkan tentang diriku kelak di masa depan. Berbohong adalah pantangan untukku; namun dalam sekejap pantangan itu kulanggar begitu saja.

Ayah datang dengan wajah yang merah, entah karena marah, entah karena mabuk, atau campuran keduanya. Tangannya mengangkat botol kaca yang telah habis isinya, mengayunkannya dengan liar, tetapi lebih sering nyaris mengenai tubuhku. Ayah berteriak, kencang sekali, menggelegar hingga ke seluruh penjuru rumah, menggetarkan dinding-dinding tipis yang menyekat rumah kami dengan rumah tetangga sebelah dalam kompleks rumah susun yang kumuh ini. Dia menuduhku mencuri selembar uang sepuluh ribu rupiah dari dompetnya yang nyaris kosong melompong. Persoalan yang sepele memang, namun Ayah tak ‘kan membiarkan kesempatan untuk menghajarku lepas begitu saja dari tangannya.

Aku balas berteriak, berkali-kali menjerit bahwa bukan aku pelakunya, mengingkari sumpahku sendiri untuk tidak pernah berbohong. Saat itu kuakui aku ketakutan, namun bukan itu alasanku berbohong. Pikirku tak pantas jika aku mendapatkan hukuman karena yang kulakukan adalah membeli obat untuk adikku, Renata, dengan uang itu, walau harus mengambilnya tanpa memberitahu Ayah terlebih dahulu.

(Malah jika aku meminta izin terlebih dahulu padanya, Ayah tak ‘kan pernah memberikannya, sepeser pun tidak akan.)

Tetapi tetap saja, Ayah menghajarku mati-matian, dan aku merasa menyesal karena berbohong seperti itu. Untung saja Ibu segera pulang dan menyelamatkanku sebelum sempat Ayah menikamku dengan serpihan botol kaca yang sangat tajam.

Kebohongan kedua yang kulakukan adalah saat usiaku enam tahun.

Kali itu aku tengah bermain dengan anak-anak tetangga di sekitar rumah. Salah satu dari mereka tengah memamerkan sebuah mainan baru yang dihadiahkan orang tuanya di hari ulang tahunnya. Tidak terlalu istimewa memang, namun bagi kami anak-anak miskin di perumahan kumuh, melihat sebuah mainan robot yang dapat mengeluarkan bunyi-bunyian adalah hal yang sangat mengagumkan. Banyak dari mereka yang berebutan ingin memegangnya walau hanya sebentar; tidak terkecuali bagiku yang turut penasaran di barisan paling belakang.

Hanya butuh sepuluh menit bagi mereka untuk terkagum-kagum―setelah itu mereka mulai bosan dan beralih pada permainan berikutnya. Saat itu mereka terlalu asyik bermain hingga tak sadar robot mainan yang tadinya mereka kerumuni tergeletak begitu saja di atas tanah. Aku yang masih penasaran, memungutnya dalam diam, kemudian berlari menjauh ke tempat yang lebih sepi.

Lihat selengkapnya