Setelah Mireya resmi menjadi mahasiswa, persepsi bapak dan ibu tentang pendidikan, kini terlontar jauh. Mereka cuma lulusan SMP dan STM, tidak pernah terpikirkan kalau setelah jenjang pendidikan menengah ke atas, masih ada jenjang pendidikan tertinggi yakni kuliah. Berangan anaknya bisa menjadi mahasiswa pun tak pernah lewat dalam kepala mereka. Lulus SMA saja sudah cukup, lalu cari kerja. Kuliah bukan opsi dalam pemutusan rantai kemiskinan bagi keluargaku.
Anak pertama di keluargaku, tamatan SMA, sempat kerja di pabrik ikan, lalu memilih nikah. Anak kedua juga lulus dengan status yang sama, setelahnya kerja sebagai pekerja di supermarket. Ketiga, Abangku, anak laki satu-satunya lulus STM. Anak keempat cuma bisa menamatkan jenjang pendidikan di bangku SMP, nikah muda. Si anak kelima, Tamat SMA juga, sekarang punya suami kaya raya, dari dia ibu sering bergantung minjam uang. Sisanya, ada tiga anak lagi, aku dan adik kembarku. Lalu, si bungsu, baru saja mengenakan seragam putih abu-abu di tahun ajaran baru. Dimana, uang kuliah adikku ditanggung oleh kakak perempuanku yang kelima. Imbalannya si bungsu harus tinggal di rumahnya dan ikut bantu-bantu meringankan beban kakakku dalam mengurus pekerjaan rumah tangga. Sebenarnya, bukan cuma si bungsu saja, aku dan Mireya pun pernah dibiayainya sekolah. Tuhan memang baik, diberikannya keberlimpahan rezeki bagi salah satu anak di keluarga, agar dapat meringankan beban bapak-ibu.
Mireya bisa kuliah di universitas tinggi negeri di luar kota menjadi oase di tengah keluarga. Bapak bercerita dengan riang, berbangga kalau ada anaknya yang kuliah. Senyum sumbringah Bapak ketika dipuja tetangga karena berhasil membesarkan anaknya dengan baik. Ibu beda lagi, tak hanya dengan tetangga, dia berbangga diri kepada saudara-saudara yang lain. Selama ini mereka hanya memandang rendah ibu yang miskin, anak banyak tapi cuma paling tinggi anaknya lulus Sekolah menengah atas saja. Tapi, semenjak Mireya kuliah, ia bisa berdiri tegap. Aku iri, berharap jadi objek yang bisa membuat senyum tergambar di wajah Bapak-ibu atau sekiranya bisa membuat harga diri merek tak lagi diinjak-injak.
Hari ini aku mendaftar ujian masuk ke salah satu Universitas Islam Swasta ternama. Sendirian, aku naik angkutan kota. Angkot teramat sesak di hari jum'at, bangku panjang yang harusnya menampung delapan orang saja, dipaksa sampai 9 orang, sementara bangku di sebelah kiri harusnya untuk enam orang saja dijejalkan 7 orang. Sehingga terpaksa orang-orang di dalam angkot termasuk aku berdesakan, punggung ketemu punggung, paha saling bersentuhan, ujung dengkul saling bertemu. Orang tambahan yang seharusnya tidak dapat duduk, rela menahan sempit badannya di sela antara dua orang. Aku yang lebih dulu duduk paling ujung terhimpit bagai ikan pepes, makin terperosok ke sudut, nyaris tidak bernapas.
Supir angkot memang kebanyakan seperti ini, mereka tidak peduli penumpang di dalam sudah overload, baginya lebih penting menampung uang dan dapat banyak bayaran sewa. Bagi penumpang pun tidak punya pilihan lain, meski sudah penuh, tetap juga memilih naik. Karena beberapa alasan; sudah terlambat, menunggu angkot ke tempat tujuan akan memakan waktu.
Hampir satu jam lebih tiga puluh menit aku berjubel di dalam angkot padat, akhirnya bisa lepas setelah angkot berhenti di depan calon kampusku. Ternyata selain aku, ada beberapa anak muda yang juga turun, terhitung 4 orang. Mereka saling mengenal, terlihat dari bagaimana mereka langsung berhambur ke halaman kampus berbarengan. Aku masih berdiri terpaku, menatap gedung bewarna kuning gading di depan pelupuk mataku. Aneh, aku merasakan denyut nadiku berdesir kencang, ada semacam perasaan yang tidak bisa diungkap. Bangga, tak menyangka, atau cemas, semua rasa itu menjadi satu. Bangga, akhirnya bisa menginjakkan kaki di kampus, tempat orang-orang terpelajar. Tak menyangka, sebab anak yang terlahir di keluarga miskin ini, diharapkan hanya menamatkan sekolah menengah atas saja, bisa bermimpi menjadi mahasiswa. Tapi juga cemas, bagaimana menjalani kehidupan di kampus, dengan bekal minim perihal dunia baru ini, munculah keraguan dalam benakku. Mampukah aku bersaing dengan mahasiswa hebat lainnya yang mungkin punya otak encer dibanding aku atau bisakah aku beradaptasi dengan lingkungan baru nanti. Bisakah aku bergaul dan mendapat teman dengan sifat introvertku ini. Pertanyaan yang kerap kali hadir, setiap aku memasuki dunia baru.
Sejak kecil kurasa satu-satunya kendala dalam hidupku adalah aku terlalu introvert. Bagi makhluk sepertiku yang perlu waktu untuk menyatu pada lingkungan baru dan teman-teman baru adalah perihal paling sulit. Menjadi mahasiswa baru, aku harus memulai semuanya dari awal, seperti, bergaul, membangun relasi pertemanan, menjalin komunikasi dengan orang baru. Itu semua tidaklah mudah.
Pijakku memasuki gapura besar bertuliskan nama Universitas, bercat warna hitam dan kuning keemasan, ditonggak paling atas gapura terdapat patung garuda mengepakkan sayapnya. Satunya lagi lafadz Allah dan Nabi Muhammad bersanding terpahat di dalam bingkai batu. Kuartikan garuda sebagai simbol lambang negara Indonesia dan Lafadz mencerminkan cinta kepada pemilik kehidupan dan Rasulullah, manusia paling dicintai Sang Khalik. Tentu saja, Universitas yang menjunjung nilai-nilai islam, pasti tidak akan lupa untuk mengingat Allah dan kekasih-Nya.
Aku berjalan di atas jalan setapak beraspal, bolamataku mengedar ke penjuru kampus yang ramai. Mahasiswa memakai almamater bewarna biru langit berjalan serempak bergerombolan dengan membawa atribut spanduk, kertas kartun bertuliskan 'turunkan rektor' dengan spidol merah. Di antara para mahasiswa itu, di baris depan, tampak mahasiswa berambut gondrong sebahu dan sepundak yang dibiarkan terurai. Selama ini, aku tidak pernah tahu, kalau kampus sebebas ini. Dalam kepalaku yang polos dan minim pengetahuan akan kehidupan mahasiswa, aturan kampus masih sama seperti di sekolah dulu. Rambut panjang sedikit saja sudah disuruh pangkas oleh guru. Lalu, pertanyaanku, kegiatan apa yang mereka lakukan, apakah semacam pawai kampus. Baru kutahu belakangan, mereka sedang melakukan demo sebagai bentuk protes terhadap kepemimpinan rektor. Seperti aksi massa yang berdemo kepada presiden di tahun 1998 dulu.