Mahasiswa baru akan diminta membawa barang yang disuruh oleh kakak tingkat, panitia penyelenggara acara Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru (PKKMB). Aku diharuskan membawa caping, selempang yang terbuat dari kertas kartun dengan bertuliskan nama lengkap 'Elfrea Sasmita'. Karung goni pegganti tas yang dikaitkan tali, isinya beragam; nasi bungkus beserta lauk pauknya bebas, sebatang cokelat permintaan kakak tingkat yang tidak aku paham tujuannya, kaleng susu siap minum berlogo beruang teapi bukan dari susu beruang, pisang lima buah dan anggur sepuluh buah berdasarkan bulan tanggal lahir. Tak lupa, perlengkapan ibadah juga dibawa. Mahasiswa baru diharuskan pula mengenakan kemeja berwarna putih dan bawahan berwarna hitam, persis tahi cecak.
Pagi sekali, aku memakai semua atribut itu dari rumah sampai ke kampus, sehingga bisa dibayangkan sepanjang perjalanan di dalam angkot, semua orang akan melirik ke arahku dengan sorot mata aneh, ada yang terkikik dalam diam, ada pula yang mengulum senyum nyaris melambungkan tawanya tapi ditahan untuk menghargaiku mungkin, dan paling membuatku malu ketika anak kecil teramat polos berseru nyaring.
"Kak, kok pakai itu sih, mau ke sawah ya?" Aku tak menjawab, jelas menahan malu apalagi semua orang satu angkot ikut tersenyum seolah mengejek. Memang tidak salah, jika melihat kondisiku sekarang, aku memang mirip petani, hanya saja aku berseragam.
Setiba di kampus, Mahasiswa baru disuruh berbaris di depan gerbang. Sebelum masuk, semua atribut diperiksa, siapapun tak memakai akan diteriaki untuk segera dipakai. Kalau kelupaan membawa satupun barang yang diminta, akan dipisahkan ke barisan lain, siap-siap diamuk kakak tingkat. Beruntung, aku mematuhi perintah. Sehingga aku langsung bebas pemeriksaan dan bergabung dengan mahasiswa lain.
Kampus sangat ramai dan penuh, sekitar ribuan lebih mahasiswa dari fakultas berbeda menyatu dalam acara penerimaan mahasiswa baru kali ini. Jumlah ini belum terhitung banyak dari jumlah mahasiswa yang lulus secara keseluruhan, sekitar 3600 mahasiswa. Auditorium kampus riuh rendah oleh suara bising mahasiswa yang sibuk mencari tempat duduk masing-masing sesuai fakultas. Aku dapat tempat duduk yang tidak jauh dari panggung di lantai satu, dimana fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan (FKIP) berada.
Setiap Mahasiswa saling menyapa dan berkenalan, beberapa dari mereka nampak sudah mengenal satu sama lain, nampak dari bagaimana mereka berbincang dengan antusias. Berbeda dengan makhluk introvert sepertiku, sulit rasanya berada di lingkungan baru, dan kesulitan terbesarku untuk pura-pura ramah. Aku bukan tipe manusia yang bisa mengakrabkan diri dengan manusia lain yang baru kutemui. Sehingga hari ini, sudah bisa dipastikan aku berteman pada diriku sendiri. Disaat semua orang sudah punya teman untuk saling bercengkrama sembari menunggu acara dimulai, aku cukup mengerdarkan pandang ke arah panggung, melihat persiapan panitia.
Tiga puluh menit, Auditorium sudah terisi penuh, suasana riuh mendadak tenggelam oleh bunyi microfon, lalu terdengar suara MC memberi sambutan dan membacakan runtutan acara. Kemudian setelahnya, kata sambutan dari rektor kampus yang cukup panjang, berakhir membosankan seakan tengah mendongeng. Dilanjut sambutan dari wakil rektor dan dilanjut sambutan ketua BEM yang membuatku terperanjat. Ternyata, ketua BEM itu adalah pemilik sapu tangan dan obat mata.
"Rupanya dia Ketua BEM," gumamku. "Dia kayaknya baik-baik aja, bodoh banget aku sampe khawatir sama dia."
Keterpakuanku pada ketua itu mendadak terkecoh oleh topik bahasan dua gadis di sampingku. "Eh tahu gak? Kalau Kak Ardian itu alasan aku kuliah disini dan ambil jurusan yang sama dengan dia," Seru seorang mahasiswi yang duduk di sampingku.
"Sama dong, aku juga," timpal mahasiswi lain di sampingnya. "Nanti kita ajak kenalan Kak Ardian yuk."
"Yuklah, biar bisa sksd sama dia."
Bisa-bisanya mereka menentukan suatu hal yang menyangkut masa depan dengan segampang itu, hanya karena seorang pria. Aku justru perlu melalui pergulatan batin untuk bisa kuliah, bahkan musti memikirkan seribu ancang-ancang kalau yang kupilih ini benar, biar tak salah jalan. Bahkan sampai detik ini aku merasa cemas, sebab kuliah sama saja menyuruh Ibu bekerja lebih keras lagi untuk membiayai uang kuliah.
Kulihat lebih cermat dua mahasiswi itu, dari segi penampilan saja sudah terlihat jelas kalau mereka berasal dari keluarga tercukupi. Sepatu dari brand ternama nike, tas berkisar ratusan ribu, jam tangan mewah, penampilan modis, kemeja putih yang mereka kenakan dari bahan bagus, celana hitam yang juga berbahan kualitas mahal, dan paling kontras dari wajah mereka yang terawat sudah dipastikan mereka sering ke salon.
Berbanding jauh dariku yang paling cuek dalam berpenampilan. Sepatu flat shoes milikku seharga murah sekitar dua puluh ribu rupiah yang kubeli di pasar , kemeja putih yang kubeli dengan bahan tipis dan terawang juga sama murahnya. Tas selempang yang kukenakan bekas, pemberian dari kakakku, daripada tak terpakai katanya, harganya berkisar ratusan tapi tetap saja, barang bekas.
Acara berlangsung meriah dengan berbagai sajian penampilan seperti tari tradisional dan modern yang tampil bergantian. Penampilan drama pendek tentang kekerasan di Palestina dari theater kampus, tampilan musik dari band kampus, stand up comedy, dan ditutup dengan penampilan flashmob dari kakak tingkat. Selanjutnya, setelah acara penyambutan seleksi penerimaan mahasiswa baru berakhir, masing-masing mahasiswa dipisah berdasarkan fakultas untuk mengikuti bimbingan dari kakak tingkat di tiap jurusan. Disinilah aku baru mengetahui kalau ketua BEM tadi berasal dari fakultas dan jurusan yang sama denganku, Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS), jurusan Bahasa Indonesia.
Kegiatan seterusnya tidak lebih menarik, hanya kakak tingkat jurusan yang tak ubahnya menyeracau, menyuruh mahasiswa baru melakukan perintahnya, bersenang-senang tapi tidak begitu menyenangkan untukku. Aku malah ingin segera pulang saat itu juga, energi sosialku telah terkuras habis, meski aku tak banyak berkenalan dengan banyak orang, tapi duduk dan menyaksikan acara dengan suara bising juga menjadi penyebab energiku terkuras.
°°°°
Masih terlalu pagi, aku sudah menepikan pijak di hari pertama ngampus. Malam meninggalkan jejak kesejukan pada embun yang menyapu lembut muka dedaunan yang membias ditimpa sinar matahari pagi, menyelinap malu-malu dari celah daun pepohonan. Kampus masih sangat lengang, hingga aku bisa dengan jelas mendengar suara burung yang tengah bertengger di ranting pohon tak jauh dari pendopo belakang Fakultas, dimana aku sendirian duduk dibawah atap berlengkung rendah.
Aku sandarkan tas ransel disamping, lalu kuedarkan pandang ke penjuru kampus yang masih sepi, sambil terus menenangkan diri. Sebab jujur saja, sejak semalaman aku tidak bisa tidur, isi kepalaku hanya memikirkan bagaimana besok, apa saja yang harus kulakukan, dan bisakah dapat teman. Berharap tidak melakukan kesalahan, berharap segala kegiatan yang kukerjakan berjalan lancar, paling penting bisa menemukan teman baru. Padahal dari semua kekhawatiran itu, aku tidak akan mampu mengendalikan sesuatu yang berada diluar kuasaku. Seringkali aku selalu terjebak dalam pikiran kusut dan ribet. Sepertinya, aku perlu belajar aliran filsafat Stoikisme agar bisa mengkontrol diri untuk tidak terlalu cemas akan hal-hal diluar kendali. Serupa ucapan Marcus Aurelius: 'Kamu mempunyai kuasa atas pikiranmu, bukan kejadian luar'. Namun itulah yang menjadi masalah terbesarku selama ini.
"Semua baik-baik saja Elfrea, tidak ada yang harus dikhawatirkan." Kalimat yang terus kulapalkan, ibarat mantera penangkal.