Liberasi Simpul

S_hayati
Chapter #5

Sapuan Lima; adaptasi

Satu bulan meninggalkan jejak. Malam inaugurasi tepatnya dua hari lalu telah usai dilaksanakan. Hampir semua teman-teman sekelas yang ikut acara tersebut bercerita dengan riang, inaugurasi kampus jadi topik utama pagi ini. Aku samar-samar mendengar perbincangan Indira, Faeyza, Andra, Syahwa, dan Madina.

"Sumpah sih, enggak nyesal ikut makrab kemarin, seru banget." Indira membuka percakapan.

"Iyakan, seru abis sih, apalagi pas kita main games kekompakan sama Kar Ardian, ternyata bisa gokil juga dia ya," timpal Syahwa.

"Pokoknya Kak Ardian yang buat acara jadi makin seru, dia juga ramah sama adik-adik mahasiswa." Madina tidak mau kalah.

"Aku mah senengnya kemarin bisa deketin Kak Raniah." Faeyza ikut menyahuti.

"Uhuy... Apa nih cerita, berlanjut gak?" Andra penasaran.

"Lanjutlah, aku dapat nomor hapenya cuy." Muka Faeyza tampak bangga pada dirinya.

"Mantap bro!" Andra menepuk pundak Faeyza kesenangan.

"Kok bisa sih Za?" Indira tak percaya.

"Bisalah, aku gitu loh. Kalian liat aja nanti, gak lama lagi aku pasti bisa jadian sama dia."

"Pede kali kamu, Za," ejek Syahwa. Faeyza malah menimpali dengan menaikkan alis dan bahunya, tanda dia cukup percaya diri.

Aku mengernyitkan dahi, dalam hati ingin bilang kepada Faeyza agar membeli cermin atau menyuruhnya mengurangi sikap berlebihannya itu, sama sekali tidak keren, jatuhnya menjengkelkan.

"Eh, Elfrea kemarin gak ikut ya?" Madina menyapaku.

Aku mengangguk pelan. "Iya."

"Kok gak ikut sih, kan seru, rugi tau enggak ikut."

Ku balas dengan senyum simpul. "Rugi apanya sih, cuma tidak ikut malam inaugurasi, buka berarti mengganggu kuliah." Aku bergumam dalam hati.

Dampak dari mengikuti malam inaugurasi, banyak mahasiswa jurusanku memilih bergabung jadi anggota BEM. Sebagian dari mereka makin dekat dengan senior di jurusan masing-masing. Terutama Faeyza, dan kawan-kawan. Seminggu setelahnya, mereka menjadi bagian dari Badan Eksekutif Mahasiswa. Sesekali kulihat mereka gabung dengan senior BEM membahas sesuatu, entah apa, namun cukup serius. Faeyza makin merasa kecakepan, berasa punya kedudukan di kelas, sering kali merasa paling sibuk dengan kegiatan di organisasi kampus.

Tidak berasa tiga bulan berlalu, aku sudah menyabet gelar mahasiswa. Selama itu pula aku masih sendirian tanpa ada teman. Meski sebenarnya, aku sudah berusaha mengakrabkan diri, mencoba agar orang-orang dekat denganku dengan berusaha bersikap baik, melempar senyum, dan bercanda. Tetap saja, aku merasa mereka tidak menyukaiku. Sekali, dua kali ngobrol, ketiga kali mereka menjauh. Apakah aku membosankan dan tidak menyenangkan?

Apalagi, menilik sikapku yang pendiam, tak banyak bicara, terlalu serius, dan pemalu. Pasti mereka merasa aku tidak seru. Aku juga bukan seperti orang lain, yang mampu berpura-pura menyenangkan, aku selalu menjadi diriku. Maka tidak heran, dalam rentang tiga bulan ini, aku memilih ke mana-mana sendirian. Lihat saja sekarang, aku pergi ke perpustakaan seorang diri. Kebetulan mata kuliah kedua kosong, perlu dua jam lagi untuk kelas selanjutnya.

Aku lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan, disaat mahasiswa lain di kelasku memilih nongkrong di kantin atau pendopo kampus. Tempat sepi adalah kenyamanan bagiku. Bahkan, saat ada waktu luang setelah perkuliahan atau terkadang menunggu kelas. Digital Library tujuan paling utama.

Masih terlalu pagi, sudah dipastikan perpustakaan masih sangat lengang. Hanya ada dua petugas yang membenahi buku-buku berdasarkan urutan di raknya, sebab seringkali mahasiswa suka tidak meletakkan buku sesuai klasifikasinya. Buku cerita bisa tercampak jauh ke buku aliran Filsafat, atau buku sejarah menginap di barisan Matematika. Anehnya, buku hukum bertengger pada kumpulan Bahasa Indonesia.

Selain para petugas, aku lihat ada beberapa mahasiswa setingkat denganku. Mereka sedang mengerjakan tugas bersama, terlihat jelas dari cara duduk yang berderet dan berhadapan, lalu buku-buku menumpuk di dekat mereka, dan laptop di tengah. Kulihat wajah serius, rasanya perdebatan mereka cukup alot, seakan tengah membahas untuk kepentingan negeri ini. Nampaknya mereka dari Fakultas Hukum, kentara sekali dari keseriusan di wajah mereka, persis pengacara, serta pakaian rapi yang mereka kenakan pun memperlihatkan kasta yang berbeda. Sebab, anak-anak hukum sering didefinisikan sebagai tempatnya kumpulan orang kaya, serupa dengan Fakultas Kedokteran.

Kuedarkan pandang ke arah pojok, terdapat satu meja dengan empat kursi dekat dengan jendela kaca panjang, kurasa nyaman duduk disana. Setelah mengambil dua buku, yakni novel milik Dee lestari berjudul "perahu kertas" dan buku biografi sastrawan Medan, kemudian aku mendudukkan pantat dengan tenang di kursi kosong tadi.

Selang tiga menit aku membuka novel, seseorang duduk tepat di depanku. Aku sedikit terkesiap akan kehadirannya, ku naikkan pandang ke arahnya, mataku membulat sepersekian detik tatkala melihat Kak Ardian yang tengah berada di hadapanku. Dia menarik garis lengkung cukup lebar di bibirnya, menyambutku dengan air muka senang.

"Aku enggak ganggu kan?" katanya dengan suara sangat lembut.

"Ah...?" Sudah jadi kebiasaan, aku selalu tergagap saat diajak bicara sama Kak Ardian. "E-engga kok Kak." Cepat sekali aku menurunkan kepala ke buku yang kubaca. Menelan ludah untuk menghilangkan gugup.

Kak Ardian meletakkan laptop di atas meja sambil berucap, "Biasanya aku sering duduk di sini. Karena paling sudut dekat jendela."

Kalimat Kak Ardian membuat menghentikan aktifitasku. "Maaf kak, harusnya aku enggak duduk di sini ya."

"Kenapa harus minta maaf, meja ini kan bukan hak milik aku. Siapa aja berhak."

Aku mengulum senyum kecil, dalam hatiku, "Untung aja, aku enggak buat salah."

"Jangan kamu berpikir aku ngusir kamu loh, kamu juga jangan merasa buat salah."

Beneran deh, Kak Ardian cenayang, kenapa dia tahu yang aku pikirin.

"Kamu baca buku Dee Lestari juga ya?" Sorot mata Kak Ardian melirik ke novel yang kupegang. "Bagus-bagus novelnya beliau, kamu pernah baca bukunya yang pertama?"

Aku buru-buru menggeleng. "Ini yang pertama baru kubaca kak. Kebetulan tadi ada di barisan rak novel."

"Kalau ada waktu, coba baca deh, kamu pasti suka," ucapnya antusias, sembari menekan tuts laptop, sepuluh jarinya bergerak cepat.

"Makasih kak rekomendasinya." Kak Ardian seketika menaikkan kepalanya setelah mendengar kalimatku, tergurat senyum tipis di sudut bibirnya. Yang kuartikan sebagai reaksi aneh. "Kenapa Kak Ardian senyum kayak begitu, ada yang salah?"

"Kamu people pleaser banget ya."

"Maksudnya?"

"Kamu enggak tahu istilah begituan?"

Ragu-ragu aku menggelengkan kepala.

"Kamu cari tahu sendiri deh," ucapnya lanjut mengetik.

Lihat selengkapnya