"Nah, pesanannya sudah dibeli princess," canda Andra, diletakannya kantung plastik hitam di atas meja.
Kami memilih menikmati makanan yang dibeli di dekat pendopo kecil belakang gedung FBS, kebetulan lagi sepi. Aku duduk di samping Celia, sementara Andra dan Nika berhadapan di seberang meja. Celia dan Andra lebih dulu menyeruput es cappucino cincau, Nika dan aku memakan batagor.
Semilir angin mengibas dedaunan dari pohon rindang di sekeliling. Daun yang kering berjatuhan ke tanah, mengubahnya menjadi seperti tumpukan padang rumput. Udara segar membasuh keringat di balik baju.
"Eh, Ngomong-ngomong, Faeyza beneran jadian sama Indira ya Ndra?" Celia membuka topik.
Mendengar pertanyaan Celia, aku dan Andra saling tatap.
"Kenapa? Kamu udah tahu El?"
Aku mengangguk pelan, "tadi baru aja Andra cerita selagi beli siomai sama batagor."
"Emang beneran ya Ndra?" Nika ikut penasaran.
"Kalian dengar berita itu dari siapa coba?"
"Nih." Nika menunjuk Celia. "Anak-anak di kelas lagi gosipin mereka. kabarnya udah menyebar, sewaktu nunggu kalian beli tadi, yang lain pada ngomongin soal ini."
"Ya seperti yang kalian dengar. Apa lagi yang harus ditanya."
"Kok bisa ya, Orang-orang tuh pacaran satu kelas. Kalau aku sih mah ogah, gak leluasa sumpah. Malah jadi canggung gitu gak sih?" Nika menanggapi dengan tampang serius.
"Jelas sih, canggung banget pasti. Belum lagi digodain satu kelas. Kalau hubungannya lancar sih it's okay, bayangkan kalau berantem, bakal gak enak banget suasananya."
"Kalian mau tahu satu rahasia gak?" Celia mendadak menyela.
"Rahasia apaan?" Mimik Nika berubah penasaran. Sedangkan aku dan Andra saling tatap sekali lagi. Ekspresi wajah Andra menjelaskan secara tersirat agar aku tutup mulut. Sebab sebelumnya saat masih beli jajanan tadi, Andra sudah bilang kalau cukup aku saja yang tahu soal perasaannya sama Indira.
"Tapi kalian jangan lemes cerita ke mana-mana ya." Sorot mata Celia mengancam kami. Tanpa menunggu lama, aku, Andra, dan Nika mengangguk kompak.
"Sebenarnya, Faeyza itu sempat nembak aku seminggu masuk kuliah." Kami bertiga tercengang, saling lempar pandang tak percaya. "Langsung aku tolak sih, soalnya dia bukan tipe aku."
Nika sekonyong-konyong ikut terdiam. "Kamu kenapa diam Nik?" tanyaku bingung.
Sebelum menjawab, Nika mendengus pelan. "Emang ya si Faeyza, kurasa semua cewek dia deketin deh."
"Hah emang iya? Jangan ngasal kamu Nik," Sergah Celia.
"Siapa yang ngasal, soalnya aku juga pernah coba didekatin, Cel."
Seolah mendapat jackpot, satu-dua fakta terbuka dalam satu hari. Tetapi aku tidak heran, aku sudah menduga gelagat Faeyza. Sejak masa Ospek saja dia cari muka di depan cewek-cewek. Sudah jelas dia predator suka mencari mangsa.
"Enggak heran sih, bermodalkan wajah tampan, lelaki modelan begini, selalu merasa bisa menaklukkan hati gadis-gadis." Seakan menang, aku bangga bisa mengutarakan kalimat ini, setelah cukup lama kupendam.
"Untunglah aku nolak, bisa-bisa makan hati," seru Celia setelah menandaskan siomai di tangannya.
"Pantas aja." Nika menggebrak meja tiba-tiba, mengagetkan aku, Andra, dan Celia
"Apaan sih, bikin kaget aja," teriak Celia.
"Kalian ingat gak...."
"Enggak!" Potong Celia dengan sengaja.
Nika melototi Celia yang cuma nyengir kuda. "Waktu di malam inaugurasi, Faeyza juga lagi deketin Kak Raniah, trus pura-pura godain Melani, komting kelas B."
"Eh iya, setelah dipikir lagi, jadi ingat," imbuhku.
"Dia berdalih cuma bercanda sama Melani pada saat itu, tapi kudengar Faeyza beneran minta nomor dia buat pdkt."
Celia mendecak mendengar penuturan Nika. Sementara aku fokus pada Andra. Sebab, selama perbincangan tentang Faeyza, Andra tak berkutik, aku paham, dia pasti memikirkan Indira. Mungkin Andra takut wanita yang disukainya itu jadi korban Faeyza nantinya.
"Aku permisi ke kamar dulu lah." Andra pamit dengan wajah ditekuk. Aku pandangi pundak Andra sampai dia hilang di belokan.
"Loh kalian masih di sini, belom pulang?" Sapaan dari suara seseorang yang kukenal, saat aku mengalihkan wajah, benar saja, Kak Ardian sudah berdiri tepat di belakangku.
"Eh Kak Ardian, belom nih, masih nunggu kelas ganti setengah jam lagi," balas Nika.
"Lagi ngobrolin apaan, seru banget kayaknya." Kak Ardian malah duduk di sampingku, yang justru makin membuatku gugup. Aku pun teringat pada pertanyaannya yang belum sempat kujawab.
"Biasa gosip, tapi Kak Ardian gak boleh tahu." Nika tampak akrab menimpali Kak Ardian.
"Oh iya, aku ke sini sebenarnya mau ngasih ini, titipan Mama untuk kamu." Kak Ardian menyodorkan sebuah bekal bewarna putih dengan tutup warna hijau neon. "Isinya dimsum buatan Mama."
"Wah... Kesukaan aku banget ini. Makasih ya Kak, salam buat tante."
Celia melempar tatap curiga padaku, digoyangkan bolamatanya ke arah Nika dan Kak Ardian, kuartikan kalau dia juga sama bertanya-tanya seperti aku. Sebelum Celia ingin menanyakan lebih lanjut, Nika sudah menjelaskan dengan sendirinya, seolah tahu, dua temannya sedang menanti jawaban darinya.
"Oh iya, kalian jangan mikir yang bukan-bukan ya. Kak Ardian ini sepupu aku dari kakak Nyokap."