Mama ingin kamu hanya membawa apa yang baik untuk dibawa ke keluarga kami….
Kata-kata itu tidak pernah pergi dari kepala Agni. Sepanjang perjalanan pulang, kata-kata itu terus terngiang hingga Agni tidak fokus berkendara. Agni masih ingat jelas bagaimana intonasi dan gaya bicara Sinta saat mengucapkannya. Calon ibu mertuanya itu tidak memberikan banyak pilihan.
Agni tahu, harus ada pengorbanan untuk sebuah pencapaian besar. Apalagi Dhitya memang layak untuk diperjuangkan. Menjadi anak durhaka dan kakak yang egois, kedengarannya cukup sepadan agar bisa menikahi seorang pria baik-baik dari keluarga terpandang.
Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, Agni masuk rumah melalui pintu samping di dekat garasi. Pukul 22.00, harusnya sang ayah sudah tertidur di kamar. Semenjak pulang umroh 3 tahun lalu, sang ayah memang menjadi lebih religius. Sebisa mungkin tidur cepat setelah salat Isya agar tidak ketinggalan salat Tahajud. Namun, hari ini lampu ruang tamu masih menyala. Bahkan tercium aroma rokok yang sudah lima tahun ini menjadi barang asing di rumah mereka. Setelah mengedarkan pandangan ke arah sofa ruang keluarga, akhirnya Agni tahu dari mana aroma rokok itu berasal. Sang ayah yang sudah berhenti merokok, kini kembali pada kebiasaan lamanya. Jika hal itu terjadi, kesimpulannya hanya satu: saat ini Rudy Kurniawan sedang sangat stres.
Agni menghela napas, buru-buru mengunci pintu dan berlalu menuju kamarnya di lantai dua. Berencana mengabaikan begitu saja kehadiran sang ayah. Melihat gelagat tidak biasa sang ayah, sudah pasti ayahnya mengetahui apa yang terjadi pada Luna. Pada putri kesayangannya.
“Agni, tunggu! Ayah mau bicara.” Ucapan itu menghentikan langkah Agni yang sudah menapaki satu anak tangga.
Gadis itu memutar bola mata malas. “Agni capek, Yah.”
Sang ayah menggesekkan ujung rokoknya ke asbak, tahu bahwa Agni memang tidak nyaman dengan asap rokok. “Ini tentang adikmu, Ni!”
Agni kembali menghela napas. Justru itu, justru ia lelah dengan semua masalah Luna. Hari ini ia sudah cukup pusing dengan kedatangan calon ibu mertuanya di sekolah. Masih kurangkah semua itu hingga ia harus mengurusi masalah Luna lagi?
“Masalah apalagi sih, Yah?” Dengan terpaksa Agni menurut untuk duduk di sofa yang berhadapan dengan ayahnya. “Nathan kemarin udah janji sama Agni kalau dia bakal ngelamar Luna secepatnya.” Tidak ada kabar dari sepupu Nathan, itu berarti Nathan memang tidak kabur dan akan menepati janjinya.
“Iya… tadi Nathan udah telepon ayah. Dia sama orangtuanya bakal melamar Luna tiga hari lagi—“ Belum juga kalimatnya selesai, penjelasan Rudy segera dipotong Agni.