Liberated

Chocola
Chapter #1

Tanggung Jawab

Terjebak macet di Puncak sudah sangat lumrah terjadi di hari libur. Pengguna jalan didominasi penduduk Jakarta yang sumpek dengan rutinitasnya di kota besar. Memilih Bogor sebagai destinasi terdekat yang sudah menjadi tempat langganan mereka melepas penat. Namun, tujuan Agni datang bukan untuk berlibur atau menikmati sejuknya udara Puncak. Tidak seperti kebanyakan orang. Dulu, mungkin. Hari ini Agni punya tujuan lain.

Sejauh mata memandang, deretan mobil mengular. Tak terhitung sudah berapa kali suara klakson saling bersahutan. Sudah hampir setengah jam kendaraan mereka tidak bergerak sama sekali. Berjarak beberapa mobil dari tempatnya, Agni melihat segerombolan laki-laki yang memilih merokok di pinggir jalan sembari menunggu kemacetan terurai.

Dhitya:

Kamu baik-baik aja, Ni? Tolong angkat telepon aku.

Diabaikannya pesan Dhitya. Selagi menunggu lalu lintas kembali lancar, Agni cermati lagi foto seorang pemuda berjaket almamater warna kuning di sebelah adiknya. Sial, Agni merasa sudah kecolongan. Di hari yang sama Agni tahu kalau Luna punya pacar—seminggu lalu—di saat itu pula Agni menemukan test pack dengan dua garis merah. Di rumah hanya ada Agni, Luna dan sang ayah. Jika bukan Agni yang hamil, sudah pasti Luna.

Agni membenturkan keningnya beberapa kali ke setir. Dia benar-benar kecolongan.

Udah lima bulan, Kak. Luna takut kalian bakal minta Luna gugurin bayi ini. Dia nggak salah. Yang salah orangtuanya. Ini salah Luna, Kak!

“Goblok! Goblok!” rutuk Agni. Kata-kata itu yang juga Agni ucapkan setelah Luna mengakui kehamilannya. Jalan sang adik masih panjang, usianya baru 19 tahun. Semester dua di bangku kuliah, tapi malah sudah hamil, di luar nikah pula!

Menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Agni tahu benar hal itu. Seminggu sudah Agni mencari keberadaan Nathan—pacar Luna—hasilnya nihil. Nathan seperti hilang ditelan bumi. Agni tidak bisa menemui Nathan di kampus. Menurut informasi teman-temannya, Nathan sudah sebulan lebih bolos kuliah. Indekosnya sepi. Nathan bahkan tidak terlihat batang hidungnya di kafe-kafe yang sering dia dan teman nongkrongnya datangi.

Agni tidak habis pikir, mengapa Luna bisa termakan bujuk rayu laki-laki pengecut seperti Nathan, sih? Bukannya sang adik sering jadi juara kelas, dapat beasiswa dan mengikuti berbagai kompetisi? Kenapa otak cemerlangnya itu seakan tidak mampu menyelamatkannya dari nasib buruk?

Setelah jalanan kembali lancar, Agni akhirnya tiba di daerah Cipanas. Agni dengar, keluarga Nathan punya vila di daerah tersebut. GPS menyatakan Agni sudah sampai di tempat tujuan. Sebuah vila bergaya modern berlantai dua dengan halaman luas dan air mancur terlihat paling mencolok karena penataan tamannya yang apik. Vila dengan dominasi warna krem itu memiliki beranda di lantai dua. Sekilas vila itu terlihat sepi. Namun dari mobil yang terparkir, Agni bisa memastikan kalau Nathan ada di dalam. Jangan sepelekan kemampuan Agni mencari informasi, Agni sudah menyelidiki Nathan sedalam-dalamnya meski Luna melancarkan aksi bungkam. Agni sudah menemui pihak kampus, bahkan teman Luna dan teman Nathan untuk mengorek informasi.

Ting tong!

Agni menekan bel vila tersebut. Vila itu tidak memiliki gerbang, sama seperti vila-vila di sekitar, sehingga kini Agni sudah berdiri di depan pintu. Semoga Nathan mau membukanya. Agni sudah bersiap menerima penolakan, bahkan kemungkinan terjadinya perkelahian. Wanita itu tidak punya pilihan selain menyelesaikan masalah ini sendirian. Mengajak sang ayah jelas bukan pilihan baik karena kondisi kesehatan beliau sedang menurun. Mengajak—Dhitya—calon suaminya? Agni tidak tahu harus berkata apa pada Dhitya, yang jelas Agni malu. Ini aib bagi keluarganya. Dan mungkin saja keluarga Dhitya yang terpandang akan menarik restunya apabila mengetahui masalah ini.

Klek!

Pintu di hadapannya terbuka. Di depannya berdiri seorang pemuda dengan wajah kusut dan rambut acak-acakan, sepertinya baru bangun tidur. Pemuda itu hanya menggunakan singlet dan celana bokser. Tanpa banyak basa-basi, Agni segera menghantam kepala si pemuda dengan tas tangannya berkali-kali. Kalau memang otaknya bermasalah, Agni harap serangannya yang bertubi-tubi bisa membuat otak itu kembali bekerja.

“Wadaaw… apaan nih? AMPUN! AMPUN!” Si pemuda refleks melindungi kepalanya dengan tangan. Serangan membabi buta Agni sekilas mirip petinju yang sedang membombardir lawannya dengan pukulan.

“DASAR BRENGSEK! TANGGUNG JAWAB LO!” serang Agni tanpa kompromi.

“AMPUUUN MBAAAAK!” Jerit pemuda itu.

Terdengar langkah cepat menuruni anak tangga. Pemuda lain datang dengan tergesa-gesa, berniat melerai. “Mbak, stop! Stop! Kita bicarain baik-baik!”

 Melihat wajah yang sangat familier membuat gerakan Agni terhenti. Diamatinya lekat-lekat pemuda yang memakai bokser tadi, perawakan tinggi dan kurusnya mirip dengan yang ada di foto, tapi wajahnya jelas berbeda. Di foto tadi wajahnya seperti seorang blasteran Indonesia-Eropa, sementara pemuda ini tidak ada kesan blasteran sama sekali. Malahan sangat lokal.

“Mbak itu Mbak Agni, kan? Kakaknya Luna?” Pemuda yang bertanya adalah pemuda yang baru saja turun dari lantai dua. Pemuda itu sangat mirip dengan foto yang tadi dia lihat, meski pipinya lebih chubby dibanding di foto. Badannya pun jadi lumayan berisi.

“Jadi, lo bukan Nathan?” Tanya Agni pada pemuda yang memakai bokser, mulai menyadari kekeliruannya.

“Ssshh… aduuh… bukan, Mbak. Saya Gibran sepupunya Nathan,” jelasnya sambil mengaduh kesakitan.

Diusap-usap pula kepalanya yang benjol. Apes. Urusan dengan Nathan selalu membuahkan ketidakberuntungan bagi Gibran. Masa-masa sekolahnya lebih parah lagi, dia selalu jadi korban salah labrak, salah tuduh dan salah pukul karena dulu dia dan Nathan perawakannya sangat mirip. Apalagi ibunya juga sering menyamakan gaya pakaiannya dengan Nathan. Maklum saja, Nathan dulu sangat populer di kalangan anak-anak perempuan. Berat badan Nathan baru naik akhir-akhir ini, semenjak menenangkan diri ke Puncak.

Agni tersenyum masam. Fix, salah sasaran.

Lihat selengkapnya