Pagi hari ketujuh belas di Kalimantan disambut dengan suara riuh rendah monyet dan kicauan burung yang eksotis dari hutan lebat di kedua sisi Sungai Sekonyer. Kapal klotok mereka sudah berlabuh tak jauh dari sebuah dermaga kayu sederhana yang menjadi pintu masuk ke salah satu tempat paling ikonik di Tanjung Puting: Camp Leakey. Tempat ini bukan sekadar pos penelitian biasa, tapi merupakan pusat rehabilitasi dan studi orangutan jangka panjang yang dirintis oleh Dr. Birutė Galdikas, salah satu dari tiga 'malaikat' primatologi wanita legendaris.
Antusiasme bercampur dengan sedikit ketegangan terasa di antara rombongan saat mereka bersiap turun dari klotok. Nisa memberikan briefing singkat terakhir, mengingatkan kembali 'Tips Bertahan Hidup di Hutan' versinya, terutama bagian tentang menjaga jarak aman dan tidak melakukan kontak mata terlalu lama dengan orangutan jantan.
"Dan Andrea," Nisa menambahkan sambil menatap vokalis The Corrs itu dengan senyum penuh arti, "pisang organiknya ditinggal saja di kapal ya?"
Andrea, yang memang sudah menyiapkan seikat pisang ambon super montok ("Siapa tahu mereka suka yang organik dari Irlandia?" alasannya kemarin), langsung cemberut tapi patuh. "Iya, iya, Nisa. Tidak ada sogokan pisang hari ini."
Perjalanan singkat dari dermaga menuju area feeding platform (panggung pemberian makan tambahan) melewati jalan setapak kayu di tengah hutan rawa gambut. Udara terasa sangat lembap, aroma tanah basah dan dedaunan membusuk begitu kental. Suara serangga hutan berdengung nyaring, sesekali diselingi suara retakan dahan atau teriakan primata dari kejauhan.
"Tempat ini terasa... sangat tua," bisik Sharon, mengamati akar-akar pohon raksasa yang melilit. "Seperti kembali ke zaman prasejarah."
"Mungkin memang begitu," sahut Jim, matanya sibuk mengamati lumut dan jamur yang tumbuh di batang pohon. "Ekosistem hutan hujan primer seperti ini menyimpan jejak evolusi jutaan tahun. Aku ingin tahu apakah DNA lumut ini bisa mengungkapkan rahasia iklim purba..."
"Jim, bisakah kita fokus pada orangutan dulu, baru nanti bahas DNA lumut?" potong Andrea sedikit kesal, langkahnya tampak hati-hati, matanya awas mengamati setiap sudut hutan, seolah takut ada lintah raksasa atau ular piton yang tiba-tiba muncul. Caroline berjalan di sebelahnya, sama tegangnya, tapi lebih karena takut tersandung akar pohon.
Sesampainya di area feeding platform – sebuah panggung kayu sederhana yang ditinggikan di tengah hutan – mereka diminta untuk duduk tenang di area pengunjung yang sudah ditentukan. Beberapa ranger taman nasional dan peneliti lokal sudah bersiap dengan ember-ember berisi pisang dan susu sebagai makanan tambahan bagi orangutan semi-liar yang kadang masih datang ke camp. Suasananya hening penuh penantian.
Tak perlu menunggu lama. Dari rerimbunan pohon di kejauhan, terdengar suara gemerisik dahan yang semakin keras. Lalu, muncullah mereka. Bukan dengan lompatan lincah seperti monyet biasa, tapi dengan gerakan yang lambat, anggun, namun penuh kekuatan. Satu per satu, individu orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) mulai berdatangan menuju panggung makan. Ada induk yang menggendong anaknya dengan lembut, ada pejantan muda yang masih belajar mandiri, dan ada juga Tom, sang raja orangutan jantan alfa legendaris di Camp Leakey (meskipun hari itu ia mungkin sedang sibuk mengurus 'kerajaan'-nya di bagian hutan lain).