Pagi hari keenam belas dimulai bukan dengan alarm hotel atau kicau burung di vila mewah, melainkan dengan suara riuh rendah aktivitas di pelabuhan kecil Kumai, gerbang utama menuju Taman Nasional Tanjung Puting. Rombongan Istana dan The Corrs, setelah sarapan cepat di Pangkalan Bun, diantar menuju dermaga tempat 'kendaraan' mereka untuk beberapa hari ke depan sudah menunggu: sebuah kapal klotok.
Bagi The Corrs, kata 'kapal klotok' mungkin membayangkan sebuah perahu kayu sederhana yang reyot. Tapi yang menunggu mereka adalah versi VVIP-nya. Sebuah kapal kayu dua tingkat yang cukup besar, dicat cerah, dengan dek terbuka yang luas di bagian atas lengkap dengan kursi-kursi rotan empuk dan meja makan, serta beberapa kabin tidur ber-AC yang nyaman di dek bawah. Meski tradisional dalam bentuk, fasilitasnya jelas sudah disesuaikan untuk kenyamanan tamu istimewa (dan untuk meredam potensi keluhan Andrea tentang serangga).
"Ini... klotok?" tanya Sharon sedikit ragu saat menaiki kapal, membandingkannya dengan gambar klotok sederhana yang ia lihat di internet.
"Ini Klotok Istana Edition, Tante Sharon," jawab Alex sambil nyengir, sudah lebih dulu naik dan memilih spot terbaik di dek atas. "Fasilitas bintang lima, pemandangan bintang seribu!"
Begitu kapal mulai bergerak perlahan meninggalkan pelabuhan Kumai dan memasuki Sungai Sekonyer yang airnya berwarna kecoklatan seperti teh susu, suasana langsung berubah. Hiruk pikuk pelabuhan berganti dengan keheningan hutan nipah yang rapat di kedua sisi sungai. Udara terasa lembap dan hangat, dipenuhi aroma tanah basah dan suara-suara hutan yang mulai terdengar – siulan burung-burung eksotis, teriakan monyet dari kejauhan, dan tentu saja, suara mesin kapal klotok yang monoton namun menenangkan ("Klotok... klotok... klotok...").
Nisa menghela napas panjang, merasakan ketenangan yang berbeda dari Ubud. "Nah, inilah kantor saya untuk beberapa hari ke depan," ujarnya sambil menunjuk ke arah hutan hijau tak berujung di depannya. Ia sengaja membawa beberapa map pekerjaan, berpikir bisa sedikit mencicil tugas negara di tengah suasana tenang ini.
Reza tersenyum melihat tumpukan map Nisa. "Yakin bisa fokus kerja di sini, Yang? Pemandangannya terlalu menggoda."
Dan memang benar. Perjalanan menyusuri sungai itu seperti memasuki dunia lain. Sesekali mereka melihat biawak besar berjemur di tepi sungai, burung raja udang berwarna biru terang melesat cepat, atau gerombolan monyet ekor panjang bergelantungan di dahan pohon. Setiap kelokan sungai menyajikan pemandangan baru yang memukau.
The Corrs terpana. Andrea, yang awalnya masih sedikit tegang karena 'briefing hutan' Nisa kemarin, perlahan mulai rileks, terpesona oleh keindahan alam liar di sekitarnya (meskipun ia tetap waspada terhadap potensi kemunculan lintah terbang atau ular anaconda). Sharon mengeluarkan buku sketsanya, mencoba menangkap suasana sungai dan hutan dalam goresan pensil.