Liburan Bersama The Corrs di Indonesia!

Shabrina Farha Nisa
Chapter #15

Menonton Pasola dari Tribun Kehormatan (Sambil Ngemil Manggulu) - Festival Seru (dan Ngeri)

Hari keempat belas di bumi Indonesia adalah hari yang ditunggu-tunggu, sekaligus sedikit dicemaskan (terutama oleh Nisa, yang bertanggung jawab atas keselamatan tamu VVIP-nya). Bertepatan dengan kunjungan mereka di Sumba, sedang berlangsung puncak perayaan Nyale (cacing laut) yang diakhiri dengan tradisi Pasola yang legendaris. Nisa, setelah memastikan jadwal dan tingkat keamanan, memutuskan bahwa ini adalah kesempatan langka bagi The Corrs untuk menyaksikan secara langsung salah satu warisan budaya paling unik dan dramatis di Indonesia. Tentu saja, dari jarak yang sangat, sangat aman.

Pagi itu, rombongan berangkat menuju sebuah lapangan luas di wilayah Kodi atau Lamboya (lokasi Pasola bisa berpindah tergantung perhitungan adat), tempat ritual perang adat itu akan digelar. Atmosfernya sudah terasa berbeda. Ribuan orang dari berbagai penjuru Sumba tumpah ruah memadati area sekitar lapangan. Banyak yang mengenakan pakaian adat terbaik mereka: kain tenun ikat berwarna cerah, hiasan kepala megah, dan parang terselip di pinggang (yang membuat Andrea sedikit bergidik). Suara teriakan semangat, tawa, dan musik tradisional yang menghentak terdengar dari kejauhan.

"Ini... ini seperti festival musik rock tapi versi lebih... tradisional dan menegangkan?" komentar Caroline saat mereka berjalan menuju area VVIP yang sudah disiapkan khusus, dikawal ketat oleh Paspampres dan petugas keamanan lokal.

"Bisa dibilang begitu, Caroline," jawab Nisa. "Pasola ini bukan perang sungguhan, tapi lebih ke ritual adat untuk merayakan musim panen, menghormati leluhur, dan katanya juga untuk 'menumpahkan darah ke bumi' agar panen berikutnya melimpah. Meski pakai lembing kayu tumpul, tetap saja butuh keberanian dan keahlian luar biasa dari para pasola (penunggang kuda) itu."

Area VVIP mereka berupa panggung kayu sederhana namun kokoh, terletak sedikit lebih tinggi dari penonton biasa, memberikan pemandangan yang jelas ke arah lapangan luas tempat pertarungan akan berlangsung. Beberapa kursi nyaman sudah disiapkan, begitu juga dengan minuman dingin dan camilan khas Sumba: Manggulu. Manggulu ini adalah manisan legit berbentuk seperti dodol atau permen keras. Manisan ini terbuat dari pisang yang dijemur lalu ditumbuk halus bersama kacang tanah, dan dibungkus daun jagung kering.

"Oh, permen pisang? Menarik!" seru Andrea, langsung mengambil satu dan mencicipinya. "Hmm, manisnya unik! Agak... smoky? Enak!" Yang lain pun ikut mencoba. Rasanya yang manis legit dengan sedikit aroma asap menjadi kontras yang menarik dengan suasana tegang di lapangan.

Tak lama kemudian, ritual Pasola pun dimulai. Diawali dengan parade para Rato (pemimpin adat) yang menunggang kuda berhias, lalu masuklah dua kelompok pasola dari kampung yang berbeda, masing-masing terdiri dari puluhan pemuda gagah berani di atas kuda Sandalwood mereka yang lincah. Mereka hanya mengenakan ikat kepala dan kain tenun, bertelanjang dada, memegang perisai kulit kecil dan lembing kayu dengan ujung yang sudah ditumpulkan (meski tetap saja terlihat berbahaya).

Teriakan perang menggema. Kuda-kuda meringkik bersemangat. Lalu, dua kelompok itu mulai saling berhadapan di tengah lapangan yang luas. Dengan kecepatan tinggi, mereka saling serang, saling lempar lembing kayu sambil tetap menjaga keseimbangan di atas kuda yang berlari kencang tanpa pelana. Suasana riuh rendah oleh teriakan penonton yang memberi semangat.

Lihat selengkapnya