Meninggalkan Gili Air dengan segala kenangan bawah lautnya (yang bagi Jim mungkin lebih mirip film horor), rombongan VVIP ini memulai fase baru petualangan mereka: menuju Flores, pintu gerbang menuju Taman Nasional Komodo. Penerbangan dari Lombok ke Labuan Bajo, kota pelabuhan kecil yang menjadi pusat wisata Komodo, terasa lebih singkat dari yang dibayangkan. Mungkin karena The Corrs terlalu sibuk membahas ulang "keganasan" ikan Nemo versi Jim, atau mungkin karena Andrea sibuk membaca (dengan wajah tegang) artikel "Cara Selamat dari Serangan Komodo untuk Turis Pemula" yang ia temukan di internet.
"Di artikel ini ditulis, lari zig-zag itu tidak efektif!" seru Andrea pada yang lain, matanya memancarkan kepanikan level baru. "Gawat! Dan katanya, mereka bisa mencium bau darah dari jarak bermil-mil! Apa ada yang sedang... ehm... ladies' time di antara kita? Karena kalau iya, kita dalam bahaya besar!"
Sharon dan Caroline saling pandang lalu menatap Andrea dengan tatapan datar. Nisa hanya bisa tersenyum menenangkan. "Andrea, tenang saja. Kita tidak akan trekking berhadap-hadapan langsung dengan komodo di habitatnya. Kita akan menikmati mereka dari... perspektif yang berbeda. Lebih aman, lebih nyaman."
Dan "perspektif berbeda" yang dimaksud Nisa adalah sebuah kapal pinisi tradisional yang sudah dimodifikasi menjadi sangat mewah dan nyaman, yang menunggu mereka di pelabuhan Labuan Bajo. Kapal kayu dua tiang itu tampak begitu gagah sekaligus romantis, dengan dek-dek luas berlantai kayu jati mengkilap, kamar-kamar ber-AC dengan jendela menghadap laut, dan tentu saja, kru kapal yang ramah dan profesional (yang sudah di-briefing habis-habisan oleh tim protokoler Istana tentang cara menghadapi tamu VVIP Irlandia yang mungkin sedikit... eksentrik).
"WOW! Kita akan tinggal di kapal bajak laut?!" pekik Caroline girang begitu melihat pinisi itu. Ia langsung berlari naik ke dek atas, berpose seperti Kapten Jack Sparrow di ujung haluan.
"Ini bukan kapal bajak laut, Caroline," koreksi Reza sambil tertawa. "Ini pinisi, kapal layar tradisional kebanggaan Indonesia. Dan kita akan berlayar dengan nyaman, bukan mencari harta karun."
Jim, tentu saja, lebih tertarik pada sejarah dan konstruksi kapal itu. Ia langsung terlibat diskusi serius dengan kapten kapal tentang jenis kayu yang dipakai, teknik pembuatan layar, dan sistem navigasi tradisional versus modern. (Filosofi Maritim Jim Corr.)
Setelah semua barang dinaikkan dan kamar sudah dibagi (Andrea memastikan kamarnya paling jauh dari bagian penyimpanan daging segar untuk dapur kapal, "Jaga-jaga kalau komodo bisa mencium bau dari kapal," alasannya), pinisi itu pun mulai mengangkat sauh, berlayar perlahan membelah perairan Flores yang biru tenang menuju kawasan Taman Nasional Komodo.
Angin laut yang sepoi-sepoi, pemandangan gugusan pulau-pulau vulkanik kecil berwarna kecoklatan yang kontras dengan birunya laut, dan suara debur ombak yang menenangkan menciptakan suasana magis. Nisa dan Reza duduk berdampingan di dek depan, menikmati pemandangan dalam diam yang nyaman. Alex sibuk menerbangkan drone-nya (kali ini dengan izin resmi dan pengawasan Paspampres) untuk mengabadikan keindahan lanskap dari udara. Sharon mengeluarkan biolanya, memainkan melodi lembut yang seolah menyatu dengan irama laut. Caroline berjemur di dek atas (kali ini dengan sunblock SPF 1000, belajar dari pengalaman).
Sementara Andrea? Dia duduk di kursi rotan paling sudut, tidak lepas dari... sebuah teropong super besar berwarna pink mencolok yang entah ia beli dari mana. Matanya awas memindai setiap pulau kecil yang mereka lewati.
"Andrea, kamu sedang mencari apa dengan teropong sebesar itu? Burung langka?" tanya Nisa geli.