Pagi hari kesembilan disambut dengan pemandangan yang berbeda. Bukan lagi pantai privat di Lombok, melainkan perairan biru tenang yang memisahkan Lombok dengan trio Gili yang terkenal itu. Rombongan Presiden Nisa dan The Corrs menaiki private speedboat yang sudah disiapkan, menuju Gili Meno, pulau tengah yang dikenal paling damai dan cocok untuk keluarga (atau, dalam kasus ini, rombongan VVIP yang butuh ketenangan ekstra setelah insiden ayam gosong).
"Jadi, di pulau ini benar-benar tidak ada mobil atau motor?" tanya Sharon takjub saat kapal mereka merapat di dermaga kayu sederhana Gili Meno. Hanya ada beberapa cidomo (kereta kuda khas Lombok dan Gili) dan sepeda yang terlihat berlalu lalang di jalanan berpasir.
"Betul sekali, Sharon," jawab Nisa sambil turun dari kapal, dibantu oleh Paspampres yang sigap. "Di sini transportasinya hanya sepeda atau jalan kaki. Udaranya bersih, suasananya tenang. Cocok buat relaksasi sebelum kita menghadapi 'teror bawah laut' snorkeling besok." Nisa mengedipkan mata ke arah Jim dan Caroline, mengingat kepanikan mereka saat snorkeling perdana dulu.
Penginapan mereka di Gili Meno adalah sekumpulan bungalow tepi pantai yang cantik dengan gaya arsitektur Sasak modern. Setelah meletakkan barang dan menikmati jus selamat datang (Andrea memastikan dulu tidak ada campuran rempah aneh di dalamnya), agenda hari itu adalah: bersepeda santai keliling pulau.
Sepeda-sepeda ontel warna-warni sudah disiapkan. Ada yang dilengkapi keranjang di depan, ada yang model tandem (Nisa dan Reza langsung memilih yang ini), ada juga sepeda gunung (yang langsung dipilih Alex). The Corrs tampak antusias.
"Wah, sudah lama sekali aku tidak naik sepeda!" seru Caroline sambil mencoba menaiki sepeda berwarna biru langit yang dipilihnya. Ia sedikit terhuyung-huyung di awal, membuat Andrea berteriak, "Hati-hati, Car! Jangan sampai jatuh ke laut sebelum kita snorkeling!"
"Tenang saja, aku ini jago main drum, keseimbanganku pasti bagus!" balas Caroline percaya diri, lalu mulai mengayuh dengan semangat '45.
Rombongan pun mulai bergerak menyusuri jalan setapak pulau yang teduh, diapit pohon kelapa dan warung-warung kecil yang menjual kerajinan tangan. Di satu sisi, pemandangan laut biru kehijauan yang tenang, di sisi lain kehidupan pedesaan pulau yang damai. Nisa dan Reza bersepeda santai di depan, menikmati momen kebersamaan. Sharon dan Andrea mengayuh pelan sambil mengobrol dan sesekali berhenti untuk berfoto. Jim, tentu saja, bersepeda paling belakang, lebih sibuk mengamati jenis-jenis pasir pantai dan mempertanyakan eksistensinya daripada menikmati pemandangan. Alex? Dia sudah melesat jauh di depan, mungkin mencari spot foto sunset terbaik.
Caroline, yang awalnya bersemangat di depan, entah kenapa mulai tertinggal. Mungkin karena terlalu asyik menikmati pemandangan, atau mungkin karena ia melihat seekor kupu-kupu berwarna indah dan mencoba mengikutinya. Tanpa sadar, saat rombongan utama berbelok ke kanan menyusuri pantai, Caroline malah lurus terus masuk ke jalan setapak yang lebih kecil menuju bagian tengah pulau.
"Caroline mana?" tanya Nisa saat menyadari adik bungsu The Corrs itu tidak ada di belakang mereka ketika mereka berhenti sejenak untuk minum air kelapa muda.
Andrea dan Sharon saling pandang. "Tadi dia di belakangku, kok," kata Andrea. "Mungkin dia berhenti sebentar buat foto?"
Mereka menunggu beberapa menit, tapi Caroline tak kunjung muncul. Rasa khawatir mulai menjalari Nisa dan Reza. Alex, yang sudah kembali, juga ikut mencari. Paspampres yang menyebar di sekitar rombongan mulai berkomunikasi via earpiece.