Setelah berhasil "selamat" dari dinginnya Bromo dan paparan langsung "hard drive debu vulkanik" versi Jim Corr, rombongan VVIP melanjutkan perjalanan menuruni pegunungan menuju kawasan yang lebih sejuk dan terkenal dengan buah-buahannya: Malang atau Batu. Pemandangan berganti dari lanskap vulkanik yang dramatis menjadi perbukitan hijau subur yang dihiasi petak-petak kebun sayur dan buah, terutama apel. Udara terasa lebih segar dan ramah, membuat The Corrs yang tadinya masih agak kedinginan mulai bisa melepas satu atau dua lapis jaket mereka.
"Jadi, setelah gunung berapi, sekarang kita ke kebun apel?" tanya Caroline dari kursi belakang mobil, matanya berbinar melihat hamparan pohon apel di kejauhan. "Apakah apel di sini bisa meledak juga kayak klepon?"
Nisa tertawa ngakak. "Tenang, Caroline, apel di sini dijamin aman digigit. Justru terkenal sangat manis dan renyah. Namanya Apel Malang."
"Apel Malang? Like... unlucky apples?" tanya Andrea, mencoba menerjemahkan.
"Bukan, Andrea," Reza menjelaskan sambil menahan senyum. "Malang itu nama kotanya. Artinya bukan 'unlucky', tapi mungkin... 'melintang'? Atau 'menghalangi'? Sejarahnya agak rumit."
"Ah, menarik," gumam Jim. "Apakah penamaan kota berdasarkan konsep 'halangan' ini merefleksikan pandangan filosofis masyarakat Jawa Timur tentang rintangan dalam kehidupan, atau hanya kebetulan fonetik yang ironis?"
Nisa dan Reza hanya bisa bertukar pandang pasrah. Diskusi filosofis Jim sepertinya tidak mengenal tempat, waktu, bahkan buah-buahan.
Tujuan pertama hari itu adalah sebuah agrowisata petik apel yang luas dan asri. Begitu turun dari mobil, The Corrs langsung disambut hamparan pohon apel yang buahnya ranum dan mengundang selera. Beberapa keranjang sudah disiapkan bagi mereka yang ingin merasakan sensasi memetik apel langsung dari pohonnya.
Andrea dan Caroline, dengan jiwa kompetitif yang tiba-tiba muncul (mungkin efek udara segar pegunungan?), langsung punya ide "brilian".
"Hei, bagaimana kalau kita lomba?" seru Andrea pada Caroline, matanya menantang. "Siapa yang bisa makan apel paling banyak dalam lima menit!"
"Setuju!" sahut Caroline tak kalah semangat. "Tantangan diterima! Yang kalah harus traktir jus apel nanti!"
Nisa dan Reza hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah dua bersaudari itu. Sharon lebih memilih berjalan santai di antara pohon apel bersama Nisa, menikmati suasana dan sesekali memetik apel hijau yang tampak segar. Jim? Ia malah terlihat sedang "berdialog" dengan salah satu pohon apel tertua di kebun itu, mungkin bertanya tentang sejarah apel atau rahasia fotosintesis. Alex, tentu saja, sibuk mendokumentasikan lomba makan apel yang absurd itu dengan ponselnya.