Perpisahan dengan kehangatan dan hijaunya Ubud terasa sedikit melankolis, bahkan untuk The Corrs yang baru beberapa hari di sana. Namun, janji akan petualangan baru di gunung berapi aktif yang legendaris di Jawa Timur cukup untuk membangkitkan kembali semangat (dan sedikit rasa gugup, terutama bagi Caroline yang membayangkan lahar panas). Penerbangan singkat dari Denpasar ke Surabaya atau Malang (Nisa memilih rute teraman dan ternyaman, tentu saja, dengan sedikit bantuan fasilitas kepresidenan) berjalan lancar, meskipun Jim sempat bertanya pada pramugari apakah turbulensi ringan tadi disebabkan oleh pergeseran lempeng tektonik minor atau hanya angin biasa.
Perjalanan darat dari bandara menuju kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru menjadi sebuah transisi dramatis. Lanskap perlahan berubah dari dataran rendah yang ramai menjadi perbukitan hijau yang berkelok, lalu menanjak semakin tinggi memasuki kawasan pegunungan Tengger yang udaranya terasa semakin sejuk menusuk. Vila atau hotel tempat mereka menginap terletak di ketinggian, menawarkan pemandangan awal kaldera Tengger yang luas membentang, sebuah pemandangan yang membuat The Corrs ternganga sejenak karena takjub.
"Ini... ini seperti lukisan pemandangan di film Lord of the Rings, tapi nyata!" seru Sharon, matanya tak lepas dari jendela kamar mereka yang menghadap langsung ke hamparan lautan pasir dan siluet gunung-gunung di kejauhan.
Makan malam hari itu diisi dengan hidangan khas pegunungan yang hangat – sup buntut, jagung bakar, dan wedang jahe. Nisa dan Reza memberikan briefing singkat tentang agenda 'maha penting' keesokan paginya: berburu sunrise di Puncak Penanjakan, titik pandang tertinggi untuk menyaksikan momen matahari terbit dengan latar belakang Gunung Bromo, Gunung Batok, dan Gunung Semeru yang gagah.
"Oke, dengarkan baik-baik," kata Nisa dengan nada serius tapi tetap ramah. "Kita akan berangkat jam... tiga dini hari."
"TIGA PAGI?!" koor Andrea, Caroline, dan Sharon serempak, mata mereka membelalak ngeri. "Gila! Di Irlandia jam segitu baru selesai party!" seru Caroline. Hanya Jim yang tampak tenang, mungkin sedang merenungkan konsep waktu subuh di zona waktu yang berbeda.
"Iya, jam tiga pagi," Nisa mengangguk. "Dan di atas sana nanti akan dingiiiiin banget. Sangat dingin. Jadi, pakai semua baju hangat yang kalian bawa. Lapis tiga, lapis empat kalau perlu. Syal, topi kupluk, sarung tangan, kaos kaki tebal, semuanya!"
"Sed-dingin apa memangnya, Nisa?" tanya Andrea, membayangkan dinginnya musim dingin di Dublin.
Reza tersenyum jahil. "Anggap saja seperti kamu masuk ke dalam freezer raksasa sambil naik motor trail, Andrea. Kira-kira begitu."
Deskripsi Reza sukses membuat Andrea (dan Caroline) sedikit pucat. Malam itu, mereka semua tidur lebih awal, meskipun rasa antusias bercampur cemas membuat tidur tidak terlalu nyenyak. Andrea bahkan bermimpi dikejar-kejar boneka salju raksasa di padang pasir.
Dan benar saja, alarm jam setengah tiga pagi terasa seperti siksaan paling kejam di dunia. Udara dingin langsung menusuk begitu mereka keluar dari kehangatan selimut. Dengan mata masih setengah terpejam dan gerakan seperti robot karena memakai baju berlapis-lapis (Caroline bahkan memakai dua topi kupluk sekaligus), mereka disambut menuju armada Jeep 4x4 yang sudah menunggu.
Perjalanan menuju Puncak Penanjakan dalam kegelapan dini hari adalah petualangan tersendiri. Jalanan sempit, menanjak curam, dan berkelok tajam membuat jantung berdebar. Andrea memejamkan mata sepanjang jalan sambil merapal doa dalam bahasa Irlandia. Caroline memegangi lengan Alex erat-erat. Sharon berusaha menikmati pemandangan kerlip lampu desa di bawah yang perlahan menjauh, sementara Jim... ia malah asyik bertanya pada sopir Jeep tentang spesifikasi mesin dan sistem suspensi kendaraan tangguh itu. Nisa dan Reza hanya bisa saling pandang di Jeep terpisah, berharap semua berjalan lancar.