Pagi keempat di Ubud dimulai dengan aroma kopi Bali yang baru diseduh dan suara alam yang (kali ini) terdengar benar-benar menenangkan, tanpa ada tambahan efek suara perut keroncongan Caroline atau dengungan lebah pengganggu meditasi Jim. Setelah sarapan smoothie bowl warna-warni (yang lagi-lagi membuat Jim bertanya tentang signifikansi artistik penataan buah naga dan biji chia), Nisa mengumumkan agenda budaya hari itu.
"Karena kemarin sesi yoga kita... ehm... sedikit penuh distraksi," Nisa memulai dengan senyum geli, "hari ini kita akan mencoba sesuatu yang lebih kalem dan nggak ada belalangnya: belajar membuat Canang Sari."
Ibu Wayan, sang instruktur yoga multitalenta yang kesabarannya setipis benang sutra namun sekuat baja, kembali hadir di pendopo vila. Kali ini, alih-alih matras yoga, pendopo itu dipenuhi dengan keranjang-keranjang berisi daun janur hijau segar, aneka bunga dengan warna cerah (kamboja putih, jepun kuning, mawar merah muda, pacar air ungu), potongan daun pandan wangi, dan pelengkap lainnya seperti permen, biskuit kecil, bahkan sebatang rokok kretek (yang membuat Andrea langsung bertanya apakah ini persembahan untuk dewa perokok).
"Canang Sari ini adalah wujud bhakti, rasa terima kasih kita sehari-hari kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas berkah kehidupan," jelas Ibu Wayan dengan suara lembutnya, sambil mulai memperagakan cara melipat janur menjadi wadah canang berbentuk kotak kecil yang disebut ceper. Tangannya bergerak begitu luwes dan cepat, seolah menari. "Setiap elemen dan arah peletakannya punya makna filosofis yang dalam."
Ia menjelaskan makna warna bunga yang mewakili arah mata angin dan dewa-dewa tertentu.
"Wah, rumit juga ya," komentar Caroline sambil mencoba meniru lipatan janur Ibu Wayan, tapi hasilnya lebih mirip ketupat gagal. "Ini seperti origami tapi versi lebih wangi dan bikin lapar lihat permennya."
Nisa dan Reza, yang sudah cukup familiar dengan canang, mencoba membantu The Corrs lainnya. Sharon, dengan ketelitian seorang musisi, berhasil membuat ceper yang cukup rapi. Ia menata bunga-bunganya dengan gradasi warna yang indah. "Ini seperti menyusun komposisi harmoni, tapi dengan bunga," katanya sambil tersenyum puas.
Jim, tentu saja, punya pendekatan berbeda. Ia tidak langsung merangkai, tapi malah bertanya berondongan pada Ibu Wayan. "Bu Wayan, jika bunga putih melambangkan kesucian Iswara di timur, dan merah melambangkan keberanian Brahma di selatan, lalu bagaimana jika saya ingin melambangkan... kebingungan eksistensial seorang musisi Irlandia yang jetlag di tengah pulau tropis? Warna apa yang cocok?" Ibu Wayan hanya bisa tersenyum sambil menjawab diplomatis, "Aduh, mungkin bisa pakai bunga campuran saja, Bapak Jim."
Lalu tibalah giliran Andrea. Ia memperhatikan dengan saksama contoh canang yang dibuat Ibu Wayan, lalu matanya berkeliling melihat bahan-bahan yang tersedia. Selain bunga, ada juga potongan kecil tebu, beberapa biskuit marie regal, dan permen jahe. Ide "brilian" pun muncul di kepalanya.
Ia membuat ceper-nya (dengan sedikit bantuan Nisa karena janurnya terus sobek), lalu mulai menata isinya. Bunga-bunga ditatanya melingkar di pinggir seperti pinggiran pizza. Di tengahnya, alih-alih porosan dan bunga rampai, ia meletakkan biskuit marie regal sebagai "dasar adonan", lalu menaburkan remahan permen jahe sebagai "bumbu", dan terakhir, menancapkan beberapa potongan kecil tebu sebagai "topping pepperoni".